Cerpen: Bunga Kamboja
BUNGA
KAMBOJA
By: nov
Cinta
menatap ruang asing itu secara menyeluruh. Di sinilah hidupnya akan berakhir.
Dia tersenyum lega, lalu menoleh dan mendapati perempuan berumur 13 tahun
terbaring dengan mata tertutup di tempat tidur yang berada tidak jauh dari
tempat tidurnya. Matanya kembali berpindah ke arah Nidas, dokter muda yang
terkenal hebat. Dia tersenyum melihat Nidas yang selalu memasang wajah serius
sampai-sampai kerutan tipis mulai terlihat di dahinya.
Cinta
menarik nafas dan mencium bau obat-obat yang sudah biasa diciumnya.
“Tunggu
!” ujar Cinta sewaktu salah satu suster hendak menyuntikkan obat bius padanya.
Nidas
dan suster-suster lainnya langsung menghentikan kegiatannya dan menatap Cinta
dengan tanda tanya.
“Setidaknya
aku ingin ada orang yang tahu tentang kehidupan pendekku,”
Nidas
tersenyum miris di balik maskernya ketika mendengar ucapan Cinta, sementara
empat orang suster yang ada di ruanganya tersebut memasang wajah sedih.
Nidas
membuka maskernya dan wajah tampannya pun tampak bersama senyum tipisnya. “Kamu
punya waktu 15 menit. Ceritalah !”
Cinta
tersenyum, lalu menarik nafas dalam-dalam. Sekelebat masa lalu pun terputar di
kepalanya layaknya rekaman film.
―***―***―***―
Namaku
Cinta Fitriana. Namaku Cinta bukan karena Orangtuaku berharap semua orang akan
mencintaiku ataupun aku bisa menebarkan cinta ke semua orang, tapi mereka
menamaiku cinta karena aku ada dikarenakan rasa cinta mereka pada Kakakku.
Aku
mempunyai seorang kakak yang bernama Silfy Alwiyah. Dia kakakku yang mempunyai
penyakit jantung sejak kecil sehingga orangtuaku menuangkan seluruh kasih
sayang mereka kepadanya dan membuat mereka lupa bahwa mereka masih punya satu
anak lagi.
Sewaktu
kecil aku adalah anak ceria yang sangat suka dengan cerita-cerita yang selalu
nenekku bacakan setiap malam─walaupun sebenarnya cerita itu dibacakan untuk
Silfy, bukan untukku. Cerita yang berisi tentang keadilan dan kasih sayang.
Dari cerita itu aku mulai berpikir bahwa orangtuaku sama sekali tidak adil.
Mereka bahkan tidak pernah memedulikanku. Pernah, Silfy menyuruhku membersihkan
sepatu yang dipakainya dan aku menolak karena ku pikir Silfy bisa melakukannya
sendiri, toh membersihkan sepatu yang sedikit kotor tidak membuat sakit
jantungnya kambuh. Tapi Silfy terus memaksaku dengan nada memerintah yang
selalu dilakukannya. Hal tersebut mengundang perhatian orangtuaku yang tadinya
hendak berangkat ke kantor. Mereka bertanya-tanya ada apa dan Silfy pun
menjelaskan semuanya.
“Cinta!”
Bentak Ayahku. “Kau ini anak yang tidak tahu diuntung! Kau tidak mau membantu
Kakakmu?! Atau kau bahkan malu mengakui Kakakmu sendiri?!”
Bibirku
mengerucut mendengar Ayahku marah-marah. Ini bukan pertama kalinya Ayah marah
dan berkata seperti itu.
“Kenapa
aku harus malu? Lagi pula bukannya membersihkan sepatu seperti itu sangatlah
mudah?” sahutku santai.
“Kalau
memang sangat mudah, kenapa kau tidak mau melakukannya?” tanya Silfy.
Aku
mendesah. “Karna sangat mudah, maka dari itu kau bisa melakukannya sendiri.
Toh, dengan membersihkan titik noda di sepatumu tidak akan membuat penyakit
jantungmu kambuh.”
‘PLAKK!!’
Mama
menampar pipiku dengan sangat keras sehingga aku bisa merasakan telingaku
berdenging dan pipiku terasa terbakar dan sangat perih. Mama memang pernah
menampar atapun memukulku, tapi baru kali ini rasanya sangat sakit.
“Kau
mau melihat Kakakmu mati yah?! Kau lebih suka kan kalau dia tidak ada, dengan
begitu tidak ada yang membandingkan kalian lagi?! Tidak ada yang menyaingi
kecantikan dan kepintaranmu. Kau benci kan dengan Kakakmu?!” teriak Mama.
Aku
menggeleng pelan dan masih kaget mendengar perkataan Mama. Oh, bagaimana
mungkin aku menjadikan Kakakku sendiri saingan? Walaupun dia lebih cantik dan
sangat pintar dariku, walaupun setiap orang yang bertemu dengan kami berdua
selalu membanding-bandingkan kami dan selalu Kakakku yang di nomor satukan,
tapi aku tidak pernah sedikit pun menganggap Kakakku sebagai saingan. Sayangnya
kata-kata itu tidak dapat keluar. Kata-kata itu tercekat dan hanya tersimpan di
tenggorokanku dan membuatnya makin sakit.
“Kau
ada karena Kakakmu! Kau harusnya bersyukur! Dasar anak pembawa sial!”
Yah,
aku sudah dengar itu. Alasan Mamaku yang super sibuk mempunyai dua anak hanya
karena anak keduanya itu harus menjadi penyelamat anak pertamanya. Mamaku yang
suka berpergian ke luar kota, sebenarnya hanya ingin mempunyai satu anak dan
bahkan Ayahku tidak ingin mempunyai anak sama sekali. Kedua orangtuaku itu
sangat mencintai satu sama lain dan merasa cukup hanya dengan mereka berdua,
tapi Mamaku ingin mempunyai seorang anak yang akan meneruskan usahanya
nantinya. Maka dari itu lahirlah Kakakku dengan penyakit jantungnya.
Orangtuaku
memang orang mampu, tapi bukan orang yang kaya raya. Maka dari itu untuk
operasi dan mencari donor jantung yang sangat mahal akan menghabiskan seluruh
harta mereka, tapi mereka sudah terlanjur sayang pada Kakakku yang selalu
ceria, penolong, dan penuh kasih sayang di usia kecilnya yang masih dua tahun
dan kasih sayangnya itu menyentuh hati kedua orangtuaku. Dokter yang menangani
Kakakku memberi saran agar mempunyai anak lagi dan biasanya jantung saudara itu
lebih cocok dan dengan begitu mereka tidak akan kesulitan mencari biaya jantung
ataupun menunggu jantung yang cocok dengan jantung Kakakku.
Lahirlah
aku. Dan di hari kelahiranku, rumah orangtuaku terbakar karena suatu sebab
sehingga seluruh harta mereka habis dan harus membangun semuanya dari awal. Dan
hal tersebut menyelamatkanku. Karena orangtuaku jatuh miskin, maka operasi
jantung Kakakku harus ditunda sehingga bisa membuatku hidup sedikit lebih lama.
Apalagi orangtuaku punya utang dengan rentenir yang terus berbunga dan tidak
ada habisnya, dengan begitu yang dipikirkan orangtua sekarang hanya utang
mereka yang harus lebih cepat dibayar jika tidak ingin rentenir itu akan
mengamuk, dan operasi Kakakku dilupakan untuk sementara.
“Kau
tidak perlu bicara ataupun meminta hal banyak! Seharusnya dengan bernafas saja
kau sudah bersyukur!” Ayah menambahi.
Aku
hanya diam dan melihat kedua orangtuaku menarik Kakakku menjauh dariku.
Sejak
saat itu aku menuruti apa yang mereka inginkan. Setiap kali Kakakku
memerintahku aku menurutinya tanpa bertanya banyak hal dan hal tersebut makin
membuat Kakakku memperlakukanku layaknya pembantu. Bahkan satu sekolah sudah
mengenalku sebagai pembantu Kakakku. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli lagi.
Dari dulu memang Kakakku selalu cerita yang tidak-tidak terhadap teman-temanku
sehingga tidak ada dari mereka yang ingin berteman denganku. Iya, aku tidak punya
siapa-siapa di dunia ini yang menerima keberadaanku. Aku adalah hak Kakakku,
tapi kenapa hal tersebut membuatku ingin menangis? Memikirkan tidak ada yang
menerimaku dan aku ada hanya sebagai jantung Kakakku membuatku selalu menangis
setiap malam, hingga pada akhirnya air mataku habis dan aku tidak bisa menangis
lagi. Semua kesedihanku sudah berubah menjadi kehampaan dan kebencian.
Kakakku
yang disukai oleh teman-temannya karena senyumnya dan sikapnya yang baik dan
lembut. Mamaku yang disukai oleh teman-teman dan tetangga-tetangganya karena
senyum indah dan cara bicaranya yang sopan dan lembut. Ayahku yang disukai oleh
orang-orang karena senyum dan cara bicaranya yang bijak. Oh Tuhan, dunia ini
penuh kebohongan. Padahal aku tahu mereka selalu membicarakan orang yang
disenyuminya dari belakang. Mereka selalu tertawa dengan orang yang dibencinya.
Mereka bahkan bersikap seolah-olah sangat menyayangiku ketika di depan banyak
orang. Hal itu membuatku muak. Hal itu membuatku tidak percaya pada siapapun.
Sebegitu mudahnyakah bagi mereka untuk bersikap begitu senang dengan orang yang
dibencinya? Kalau mereka tidak suka kenapa mereka tidak mengatakan tidak suka?
Pernah
juga, ada seorang guru di sekolahku yang sangat baik padaku. Dia selalu
melindungiku ketika teman-temanku yang lain menjailiku. Ku pikir hanya dia yang
bisa menerimaku, tapi belakangan ku ketahui kalau yang diinginkannya sebenarnya
hanya tubuhku. Awalnya aku membiarkan dia selalu memegang tanganku, aku masih
membiarkan dia memegang bagian tubuhku walaupun aku risih, tapi ketika dia
mulai melakukan hal yang macam-macam, aku langsung menjauhinya, lalu sejak saat
itu dia menceritakan hal yang tidak-tidak pada teman-temannya tentangku. Anak
murahan yang berdarah pelacur, katanya.
Aku
benci sekali dengan kebisingan ataupun keramaian. Aku benci mendengar
kebohongan-kebohongan dan topeng busuk manusia. Maka dari itu, aku lebih suka
menghabiskan waktuku di tempat sepi, tapi karena aku tinggal di tengah kota
maka satu-satunya tempat sepi dan tenang yang selalu ku kunjungi hanya makam
nenekku.
Teman-temanku
selalu mengataiku penyihir dan semacamnya. Mereka selalu takut dekat-dekat
denganku karena hobiku yang menghabiskan waktu di kuburan dan hobiku yang
selalu menggambar makam, lorong gelap yang tak berujung, dan pohon tua rindang
yang samar. Aku memang menyukai ketiga tempat itu. Makam yang memberi
ketenangan. Lorong gelap tak berujung yang tidak menampakkan dengan jelas
mata-mata mereka, mata yang selalu menatapku dengan kebencian, ketakutan, dan
kejijikan. Pohon rindang samar yang memberi ketenangan dan tidak menampakkan
diriku dengan jelas. Aku tidak suka menonjol, karena dengan begitu hanya
sedikit yang merasakan kehadiranku dan sedikit pula yang merasa terganggu
dengan keberadaanku.
Kadang
aku berpikir, karena aku menginginkan ketenangan, apa itu salah? Karena aku
hanya diam dan jarang berbicara, apa aku berbeda? Karena aku selalu menyudut
dan menjauh dari keramaian, apa aku jahat? Aku juga ingin mempunyai teman, tapi
sangat sulit. Tidak ada yang bisa menerimaku apa adanya. Semuanya menjauhiku
karena mereka menganggapku aneh dengan sikap yang mereka sendiri tidak tahu
asal-usulnya. Aku tidak melakukan hal kriminal. Aku hanya mencoba jujur dan
tidak memakai topeng seperti yang lainnya, tapi sepertinya semua orang malah
makin membenci dan menganggapku aneh. Iya, aku memang sok jadi pahlawan
kebenaran.
Aku
juga ingin menjalani hidup normal seperti yang lainnya. Aku ingin punya teman
dan sahabat, Orangtua yang menyayangiku, dan Kakak yang melindungiku. Tapi
sikap pendiamku selalu dianggap hal yang buruk, padahal aku diam agar mereka
bisa menyadari bahwa tidak butuh ribuan kata untuk disayangi, tidak butuh
ratusan kata untuk dituruti, tidak butuh puluhan kata untuk didengarkan, cukup
satu kata kejujuran maka semua akan lebih menghargai. Yah, setidaknya itulah
hal bodoh yang ku percayai. Faktanya memang orang-orang membutuhkan ribuan kata
sayang dan rayuan untuk disayangi, ratusan kata perintah ataupun ancaman untuk
dituruti, dan puluhan kata yang diulang-ulangi untuk didengarkan.
Sampai
pada akhirnya hari itu muncul. Hari ketika orangtuaku sudah punya uang dan
cukup untuk biaya operasi. Oh Tuhan, akhirnya
kehidupan yang memuakkan ini akan berakhir. Rasa sesak di dadaku karena
kehabisan air mata, akan berakhir. Tapi kenapa aku merasa seakan tidak rela?
Kenapa sulit bagiku meninggalkan dunia yang ku benci ini? Dunia yang
menghakimiku karena tidak mengerti diriku? Ah, rupanya karena aku merasa tidak
puas dengan akhir yang seperti ini. Aku merasa sedih akan meninggalkan Kakak
dan Orangtuaku yang selalu berisik dan heboh. Pasti akan sangat sepi tanpa
mereka─walau aku menyukai ketenangan, tapi sepi pasti akan sulit─aku pasti akan
merindukan mereka nantinya. Kenapa di saat seperti ini aku malah berpikir lebih
baik menjadi budak Kakakku ataupun pelampiasan kemarahan dan kestresan
Orangtuaku? Oh, aku sangat sedih,
semuanya akan berakhir tanpa aku bisa meneteskan setitik air mata.
―***―***―***―
Beberapa
suster menangis mendengar cerita Cinta, beberapanya lagi menggerutu tidak jelas
karena marah. Sedangkan Nidas hanya terdiam, membeku.
“Kamu
hanya mencoba menjadi dirimu sendiri. Kamu hanya ingin dicintai apa adanya
dengan kejujuran. Kamu kesepian dan melihat begitu banyaknya hal-hal yang semu.
Tapi di atas kebenaran yang kamu percayai, kekecewaan merampasmu dan memaksamu
untuk menyadari bahwa dunia ini tidak butuh kebenaran. Dunia ini hanya butuh
caranya sendiri untuk membuat semua orang bahagia, tidak peduli harus dengan
kebohongan ataupun penipuan.” Nidas tersenyum miris ketika dia menyadari apa
yang dikatakannya. “Menurutku kamu benar, hal yang kau percayai itu benar
karena aku pun percaya.”
Cinta
tertegun, lalu tersenyum bahagia. Tanpa sadar air matanya menetes, tapi hatinya
diselimuti kehangatan yang tidak biasa. Dia menangis bahagia untuk pertama
kalinya. “Seandainya saja aku bisa bertemu lebih awal dengan orang yang bisa
mengerti diriku, orang yang melihat diriku apa adanya tanpa pikiran buruk. Oh,
memang benar, hidup jadi lebih berarti ketika kita berada di ambang kematian.”
Nidas
mengelus lembut rambut Cinta. “Belum terlambat. Ayo, akan ku ajak kamu untuk
mengakhiri dunia kejammu dan berlari menuju dunia yang lebih baik.”
Nidas
mengulurkan sebelah tangannya pada Cinta, tapi Cinta menggeleng cepat, lalu menoleh
ke Silfy, Kakaknya yang terbaring masih dengan mata terpejam.
“Dokter
tahu tentang reinkarnasi? Aku pernah membacanya di buku. Katanya, ketika kita
meninggal nanti maka kita akan bereinkarnasi menjadi makhluk hidup, entah itu
manusia, hewan, ataupun tumbuhan.” Cinta tersenyum sambil menoleh menatap semua
orang di ruangan dengan cahaya lampu yang terang yang menunggu kata-kata
selanjutnya. “Aku ingin bereinkarnasi jadi Bunga Kamboja. Bunga yang akan
sering mengunjungi makam dan menemani orang-orang kesepian yang ada di sana.
Aku tahu bagaimana kesepian itu, maka dari itu aku tidak ingin orang lain juga
merasakannya. Kalau mereka tidak menerima kejujuran dan sikapku, maka ku harap
orang yang kesepian akan menerima kehadiranku. Bukahkah itu sangat egois? Aku
ingin menemani orang yang kesepian karena aku juga kesepian.”
Nidas
menggeleng. “Tidak egois. Kamu malah menyelamatkan dua orang sekaligus, orang
lain dan dirimu sendiri.” Nidas tersenyum lembut. “Aku bangga sekaligus iri
padamu. Kamu selalu memikirkan tentang kebenaran. Kamu bisa bertahan dengan
semua yang terjadi dalam hidupmu dan kamu pun ingin mengakhirinya dengan
pikiran untuk menolong orang lain. Kamu anak yang kuat, anak yang membanggakan.
Ku harap, nantinya mempunyai anak sepertimu.”
Cinta
kembali menangis. Pipinya merona. “Ini untuk yang pertama kalinya ada orang
yang mengatakan seperti itu. Ini untuk yang pertama kalinya ada orang yang
memuji dan menerimaku apa adanya. Dokter, apa boleh ku panggil dokter dengan Ayah?”
Nidas
menggangguk. Lalu, seorang lelaki setengah baya dengan jas putih dan masker
mencairkan suasana dengan kehadirannya yang tiba-tiba, membuat semua mata
serentak menatap lelaki setengah baya tersebut.
“Pasiennya
yang satu lagi belum dibius?” tanya lelaki setengah baya dengan jas putih yang
merupakan dokter yang akan membantu jalannya operasi.
Para
suster dengan segera menghapus air mata mereka dan mengganti masker mereka yang
sudah basah.
“Ada
apa ini?”
Dokter
setengah baya tersebut terlihat kebingungan.
Cinta
memegang tangan Nidas dan membuat Nidas kembali menatap Cinta. “Ayo mulai
operasinya, Ayah.”
Nidas
mengagguk dengan mata yang berkaca-kaca, lalu mencium kening Cinta.
―***―***―***―
Nidas
bersama calon isterinya tercinta, Kasih, mendatangi sebuah makam yang masih
baru. Melihat makam tersebut membuat Nidas tersenyum kecut mengingat kemarin
Orangtua Cinta sangat senang mendengar operasinya berjalan lancar. Oh, bukankah
itu berarti salah satu anak mereka meninggal?
“Makam
siapa ini, sayang?” tanya Kasih.
Nidas
tersenyum. Dia meletakkan seikat bunga mawar di atas makam tersebut.
“Dia
adalah anakku,” jawab Nidas.
Kasih
mengernyit. “Kamu sudah punya anak?”
Mata
Kasih menatap ke batu nisan di kuburan tersebut dan tertera nama ‘Cinta
Fitriana’. Seketika rasa cemburu yang dirasakannya padam dan berubah jadi rasa
sedih.
“Oh,
ternyata Cinta yang itu?” kata Kasih sambil ikut jongkok di dekat Nidas, di
samping makam Cinta Fitriana.
“Namanya
Cinta karena segala darinya adalah ketulusan termaksud cintanya. Dia
menunjukkan cinta yang sebenarnya, tanpa maksud apa-apa, hanya perasaan
menghangatkan yang mampu membuat orang tersebut bahagia dan merasa cukup,” ujar
Nidas.
“Kalau
begitu kita namakan saja anak kita nanti Cinta. Bukankah itu juga cocok dengan
namaku? Cinta dan Kasih.”
Nidas
menggeleng. “Cinta itu nama anak pertamaku.”
Kasih
mengerucutkan bibirnya, kesal. “ Kamu terus menyebutnya anakmu seakan aku tidak
ada. Sebut saja Cinta itu anak kita, walaupun aku tidak pernah bertemu
dengannya, tapi aku yakin aku menyukainya karena kamu juga menyukainya.”
Nidas
tertawa kecil, lalu mengacak-acak rambut Kasih dengan gemas. “Iya, iya, Ibunya
Cinta.”
Kasih
tersenyum riang.
Mata
Nidas tidak sengaja bertemu dengan bunga kamboja yang terdapat di atas makam
yang berada beberapa makam di dekat makam Kasih. Matahari sore yang keemasan
menyinari bunga kamboja yang tampak segar dan bercahaya, membuat Nidas
tersenyum.
“Tapi,
kenapa kamu membawakan Cinta bunga mawar? Kenapa bukan bunga kamboja?” tanya
Kasih.
“Aku
kan sudah bilang, Cinta ingin bereinkarnasi menjadi bunga kamboja, berarti
kalau aku membawakannya bunga kamboja, dia hanya akan menemani kesedihan dan
kesepian dirinya sendiri.” Nidas menjelaskan layaknya guru yang sedang mengajar
muridnya yang hanya mengangguk mengerti.
“Tapi
kenapa harus mawar?”
Nidas
tersenyum melihat seikat mawar segar berwarna merah di atas makam Cinta.
“Karena aku belum sempat mengatakan tentang perasaanku padanya, maka dari itu,
keheningan mawar merah ini ku rasa cukup untuk mengantarkan kejujuranku
padanya.”
“Tapi
mawar merah kan artinya cinta antar sepasang kekasih,”
Nidas
menatap Kasih dengan alis yang diangkat sebelah. “Kau cemburu? Dengan anak yang
berumur 13 tahun?”
Wajah
Kasih memerah. “Tentu saja tidak.”
Nidas
tertawa, lalu menarik Kasih ke dalam pelukannya. “Bunga itu dari kita berdua,
kejujuran dari kita berdua.”
Kasih
tersenyum bahagia sambil menatap batu nisan Cinta.
Dia
ingat Nidas bukanlah orang yang bisa dengan mudah menyayangi orang lain. Dia
adalah lelaki serius yang selalu bersikap tak acuh pada semua orang. Dia lelaki
serius yang berpikiran bahwa cinta hanya bentuk puitis dari obsesi, bahwa cinta
hanyalah alasan untuk mencari keuntungan dari orang lain, dan cinta hanyalah
dayung yang mengantar pada tujuan yang diharapkan. Tapi dengan adanya Kasih dan
Cinta, teori Nidas sepenuhnya berubah. Mungkin teori yang dikatakannya memang
benar, tapi teori itu hanya berlaku pada orang tertentu. Faktanya, Nidas
berhasil memercayai cinta dengan caranya dan teorinya sendiri.
Cinta
adalah perasaan bahagia yang menghangatkan dan selalu merasa cukup. Cukup
dengan senyumnya. Cukup dengan suara bahagianya. Cukup dengan keberadaannya
yang tidak melakukan apa-apa, tapi mampu mengisi hati. Cukup dengan sikap menyebalkannya yang
mengganggu, tapi kadang selalu dirindukan. Kasih menjelaskan perasaan itu pada
Nidas lewat ketulusan dan kasih sayang yang diberikannya, sedangkan Cinta
menguatkan teori Nidas dengan cerita hidup dan perasaan sayang Cinta kepada
Orangtua dan Kakaknya.
Kasih,
calon isteri Nidas yang dicintai dan Cinta, seorang anak yang dikagumi Nidas
yang selalu membuat Nidas berharap dapat benar-benar menjadi Ayahnya dalam waktu
yang lama.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar