Cerpen: Di Hamparan Bintang-Bintang
DI HAMPARAN BINTANG-BINTANG
By: nov
Presiden
pertama Republik Indonesia sekaligus tokoh yang paling kukagumi, Ir. Soekarno,
pernah berkata, “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan
jatuh di antara bintang-bintang.” Sebenarnya apa yang harus kugantungkan di
langit? Mimpi yang berkualitas tinggi atau mimpi sederhana yang kumiliki?
Setiap
hari aku bermimpi bahkan hingga kini, saat mimpi itu telah terwujud. Mimpiku
tidak setinggi mimpi Ir. Soekarno untuk bangsa dan negaranya, sederhana hingga
membuat orang-orang menyepelekannya. Sederhana hingga membuat orang-orang
menjulukiku bodoh.
Satu
per satu dokter yang lalu-lalang di depanku mengingatkanku kembali dengan
pilihan yang kupilih tiga belas tahun yang lalu. Aku tersenyum megingatnya.
Hampir saja buku cetak matematika yang kupegang berganti dengan stetoskop dan
seragam yang kupakai berganti dengan jas putih.
“Kak
Agung, dipanggil Ibu.”
Aku
segera menoleh saat mendengar suara bisik adikku, Sasi, yang memanggilku.
Melihat air mukanya yang resah dan suaranya yang direndahkan membuatku bisa
menebak apa yang terjadi di dalam. Aku menarik napas dalam dan bangkit menuju
kamar di mana Ibu dirawat.
“Assalamualaikum,
Ibu,” sapaku dengan senyum yang selebar mungkin.
Ibu
hanya diam. Dia bahkan tidak menatapku dan fokus memerhatikan seorang dokter yang
sibuk memeriksa keadaannya. Aku hanya bisa menghembuskan napas, pasrah. Kuperhatikan
saksama, tubuh kurus Ibu yang membuatku menangis dalam hati. Aku merasa
bersalah tidak bisa banyak membantunya.
Setelah
beberapa menit, dokter dan dua orang suster yang menemaninya menyelesaikan
tugas mereka dan keluar dari ruangan. Aku mendekati Ibu dan memegang salah satu
tangannya yang bebas dari jarum infus.
Ibu
mendengus. “Harusnya kamu yang menggantikan dokter tadi. Lihat dirimu sekarang!
Kamu bahkan tidak bisa membayar lunas biaya rumah sakit.”
Perkataan
Ibu mengiris hatiku, tapi aku tidak bisa menyangkalnya. Dibandingkan perkataan
Ibu, kenyataan yang ada lebih mengiris hatiku.
“Ibu,
jangan bicara seperti itu. Kak Agung sudah datang jauh-jauh dan berusaha
membantu, Bu,” kata Sasi.
“Kamu
juga harusnya belajar dari Kakakmu ini. Selesaikan sekolahmu dengan baik.
Kuliah dan pilih jurusan yang bisa memberikan pekerjaan yang bagus. Jangan
hanya jadi guru SMP,” sindir Ibu.
Kali
ini perkataan Ibu benar-benar menyambarku. Aku memilih pamit dan pulang ke
rumah. Kehadiranku di sisi Ibu tidak akan membantunya. Sasi hendak mengantarku
sampai ke tempat parkiran, tapi kutolak karena khawatir Ibu akan sendirian. Aku
tahu adikku itu juga khawatir terhadapku. Setiap saat dia harus menjadi
penengah antara aku dan Ibu. Dia belum tahu alasan mengapa Ibu selalu marah
padaku. Kalau dia tahu, akankah dia masih ingin menjadi penengah di antara aku
dan Ibu?
Semua
orang menganggapku bodoh, orang jenius yang bodoh. Bagaimana tidak, aku
mendapat beasiswa jurusan kedokteran di perguruan tinggi negeri terbaik, tapi
kutolak tanpa ragu. Aku lebih memilih kuliah jurusan pendidikan matematika
hingga membawaku ke tempatku sekarang ini, menjadi guru SMP.
Aku
sangat ingat perkataan Ibu setelah mendengar keputusanku yang dianggap bodoh
oleh semua orang, “Ibu dan Bapakmu memberi nama Agung supaya kamu menjadi orang
yang besar nantinya, setidaknya bisa mengubah keadaan ekonomi keluarga kita
yang tidak begitu baik.”
Sekarang
di mata Ibu nama itu sudah gagal dalam mewujudkan keinginannya. Aku tidak bisa
memperbaiki keadaan ekonomi keluarga seperti yang Ibu harapkan apalagi menjadi
orang besar. Di mata Ibu aku bukan apa-apa, kecuali kegagalan, tapi aku masih
bisa tersenyum ketika mengingat kejadian itu karena aku tidak pernah menyesal
dengan keputusanku waktu itu meski Ibu terus saja menghujaniku dengan
sindiran-sindirannya. Aku berhasil membawa mimpiku ke dunia nyata meski
terkadang aku bertanya-tanya, mengapa ketika kita masih kecil semua orang
menyuruh kita bermimpi dan mewujudkannya, tapi ketika kita dewasa semua orang
menyuruh kita untuk mendapatkan profesi yang menebalkan dompet? Jika sukses itu
berarti menghimpun harta sebanyak-banyaknya,
maka lebih baik aku menjadi gelandangan yang dapat melakukan banyak hal yang
kuinginkan.
Awalnya
kupikir seperti itu. Kupikir aku tetap bangga dengan pekerjaan dan mimpiku,
tapi kemudian surat yang ditinggalkan istriku−ketika aku bangun tidur dalam
keadaan sendiri−menggoyahkanku.
Istriku
pergi ke rumah orangtuanya. Kurang dari sebulan anak pertama kami akan lahir
dan membutuhkan biaya untuk kelahirannya. Istriku tahu bahwa aku tidak punya
uang lagi setelah kugunakan semuanya untuk membantu Ibu. Dengan keadaan ekonomi
orangtuanya yang cukup baik, dia bisa melahirkan dengan tenang. Aku sangat malu
dan tidak berani untuk menunjukkan wajahku di hadapan Ibu dan Bapak mertuaku.
Belakangan
ini aku mulai berandai-andai. Bagaimana jika pada waktu itu aku menerima
beasiswa dari perguruan tinggi negeri terbaik itu? Pastilah hal wajar bagiku
untuk menjadi dokter dan mendapatkan gaji yang bisa menyenangkan Ibu dan
istriku. Namun, di sisi lain, aku harus melepaskan mimpiku. Semuanya sangat
membingungkanku. Telepon Ibu yang meminta uang dan telepon mertuaku yang terus
menghinaku membuatku semakin tertekan. Aku teringat dengan tawaran temanku yang
hendak menjadikanku manajer di perusahaannya lantaran percaya dengan
kemampuanku. Kebingunganku tak kubiarkan menguasai dan menjatuhkanku. Kuhadapi
itu semua dengan merangkak di malam-malam sepi untuk sujud dan meminta jawaban
atas masalahku walaupun hatiku masih bimbang hingga sekarang.
Kemudian,
datang sebuah hari di mana mimpiku harus kulepas. Tuntutan orang-orang di
sekitar membuatku akhirnya menerima tawaran temanku untuk membantu perusahaan
kecilnya dan tentu saja bayarannya adalah pekerjaan lamaku yang harus kulepas.
Hari-hari
silih berganti tanpa kusadari pastinya. Kurasa aku telah berubah menjadi mesin peraup uang. Hari-hariku penuh dengan
kerja dan merindu: mimpiku yang hilang. Walau aku berhasil menyenangkan hati
istri, Ibu, serta membungkam mulut semua orang, kekosongan ini tidak akan
pernah terisi.
Di
beberapa waktu kosong, kuhabiskan dengan duduk di sebuah taman sembari
merenungi pilihanku lima belas tahun yang lalu dalam melepas mimpiku. Aku sudah
punya banyak hal. Aku berhasil membantu perusahaan berkembang pesat hingga
menjadi perusahaan yang besar. Kini aku punya uang, keluarga, anak-anak yang
hebat, Ibu yang hingga akhir hayatnya bangga padaku, kehormatan, dan ruang
hampa.
Di
taman ini, aku selalu mengamati anak-anak yang pulang sekolah dan mengenang
kembali masa lalu. Aku kembali ingat sosok Ibu yang tertawa mendengar anak
lelaki kecilnya ingin menjadi guru saat anak-anak yang lain lebih memilih
pekerjaan hebat dengan gaji yang sama hebatnya. Waktu itu Ibu bertanya mengapa
aku memilih guru dari sekian profesi yang ada.
“Aku
ingin jadi guru karena itu profesi yang paling luar biasa. Dokter, pengacara,
pengusaha, bahkan presiden pun tidak akan ada tanpa guru.”
Aku
tersenyum mengingat hal tersebut. Aku juga masih ingat senyum Ibuku waktu
mendengar jawaban polosku. Di masa kanak-kanak memang ladang yang indah untuk
bermimpi. Tidak akan ada yang memaki karena kita belum terjun langsung di
masyarakat. Ketika kanak-kanak, orang dewasa mendoakan dan mendorong mimpi
kita. Ketika dewasa, mereka mengatakan bahwa yang dibutuhkan oleh dunia ini
bukan mimpi, tapi materi dan nilai kuantitas seseorang, seperti kata pepatah, “Gajah
mati meninggalkan gading”. Terakhir, ketika kau sudah tua, mereka mengatakan
masamu sudah habis dan yang kau tunggu hanya kematian, sama sepertiku.
Tiba-tiba
aku menyadari sesuatu. Apakah mimpi itu sesuatu yang dimiliki oleh anak kecil
dan anak muda? Apakah mimpi itu keinginan yang berjangka waktu? Tidak. Mimpi
tidak memandang usia seseorang.
Iya,
aku menemukan kembali semangatku. Aku bangkit dan bergegas mewujudkan mimpi
yang sempat terlepas. Keluargaku sudah mendapatkan apa yang mereka mau, maka
saatnya bagiku untuk mewujudkan mimpiku sendiri.
Aku
merangkai semua rencana di otakku dan bergerak untuk mewujudkannya satu per
satu hingga beberapa bulan kemudian aku berhasil membangun sebuah sekolah
sederhana yang dihuni oleh anak-anak yang mempunyai alasan masing-masing untuk
tidak sekolah dan beberapa orang pengajar bersemangat tinggi, salah satunya
adalah aku.
Kenapa
aku baru sadar? Seorang guru bukan dia yang berada di sekolah, tapi dia yang
memberi ilmu kepada siapapun. Mimpiku adalah mimpi yang besar dan lebih luas
dari yang kubayangkan. Selama ini aku bermimpi dengan obsesi, tapi kali ini aku
akan melakukannya dengan cara yang berbeda: cara yang baik. Walau orang-orang
mengatakan padaku bahwa sudah terlalu tua bagiku untuk bermimpi, tapi kukatakan
kembali pada mereka, “Jika mimpi itu memiliki waktu, maka yang kau miliki bukan
mimpi, tapi strategi jangka pendek.”
SELESAI
Komentar
Posting Komentar