Cerpen: Dulu


DULU
By: nov


“Dhis, kayaknya Arfan perhatikan kamu terus deh.”
Adhis menoleh ke arah pandangan sahabatnya. Arfan Farhan, lelaki tinggi yang menghuni kelas sebelah. Dia tidak pernah ingat akrab dengan lelaki itu. Mereka hanya sesekali bertegur sapa dan terlibat obrolan kaku.
“Jangan mengada-ada, Za. Kami bahkan tidak begitu akrab,” sanggah Adhis sambil kembali menyuapkan sesendok mie ke dalam mulut.
Aza, sahabatnya hanya menghela napas dan ikut kembali menikmati makanannya. Aza sangat tahu sifat sahabatnya, dia tidak akan peduli dengan hal-hal seperti itu. Mungkin juga Aza terlalu sensitif sehingga dia berpikiran aneh seperti kata sahabatnya. Akhirnya dia memutuskan untuk melupakan pendapatnya saja.
Namun, ternyata apa yang dipikirkan Aza dirasakan oleh lelaki yang duduk di seberang mereka. Sejak tadi, lelaki itu memerhatikan ke arah salah satu dari mereka. Tentu saja lelaki itu tidak memerhatikan secara terang-terangan. Saat ada cela di percakapannya dengan teman-temannya yang juga duduk di meja yang sama dengannya, dia akan melirik ke arah perempuan itu dan mengamatinya dengan hati hangat.
“Fan, berhenti melihatnya seperti itu. Kau seperti penguntit gila!” ejek Gilang, salah satu sahabatnya sambil tertawa mengejek.
“Adhis, ya? Kapan kamu akan tembak?” goda Rafa diikuti godaan berisik teman-teman lainnya yang berucap, “Cieee...”
“Kamu gila, Raf? Dia itu Adhis. Setengah cewek setengah cowok. Memangnya kalau ditembak dia akan tersipu malu dan mengangguk-angguk seperti cewek lainnya? Paling dia hanya bilang ‘oh’ kemudian pergi dan melupakan Arfan,” kata Robi yang diikuti dengan anggukan teman-temannya dan helaan napas putus asa Arfan.
Rafa merangkul pundak temannya, Arfan. Dia menepuk dan memberikan semangat. “Jangan berkecil hati. Perasaan pria itu ada untuk diungkapkan. Ayo, jadi jantan dan ungkapkan perasaanmu sebelum terlambat.”
Tiba-tiba saja entah dari mana asalnya, Arfan dapat merasakan keberanian di ujung tangannya. Dia bertekad untuk menyampaikan perasaannya, setidaknya agar rasanya dianggap ada oleh orang yang disukainya dan juga ada sebuah pertanyaan yang sejak dulu terbayang-bayang di kepalanya: Apakah Adhis juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
Walaupun Arfan sudah bertekad untuk menyampaikan perasaannya, tapi rasanya sangat sulit baginya untuk berhadapan langsung dengan Adhis. Akhirnya dia memilih untuk menyampaikan perasaannya melalui perantara Aza yang dikenal sebagai sahabat Adhis dan syukurlah Aza tak masalah untuk menyampaikan rasanya untuk Adhis.
Besoknya, Arfan datang lebih pagi dari sebelumnya. Dia berdiri di depan pintu kelasnya dan mengamati tiap orang yang masuk ke kelas sebelah hanya untuk mencari satu wajah yang membuatnya gelisah sejak kemarin.
Akhirnya orang itu datang. Adhis. Dia berjalan santai memasuki kelas dengan tas ransel dan tanpa pernak-pernik apapun di tubuhnya kecuali anting. Tidak ada serbuk apapun di wajahnya. Dia sangat sederhana seperti biasanya.
Dengan jantung yang berdegup kencang Arfan menunggu hingga Adhis menoleh padanya dan akhirnya bak telepatinya berhasil, Adhis menoleh padanya. Namun, apa yang diharapkannya sirna seketika. Jangankan tersenyum, Adhis bahkan hanya meliriknya persekian detik dan kembali melanjutkan langkah. Walau Arfan terpuruk dengan respon Adhis, tapi sebisa mungkin dia berpikiran positif. Mungkin saja Aza belum sempat menyampaikannya.
Hari berganti hari dan respon Adhis masih sama. Dia hanya melirik dan menjawab seadanya saat disapa. Akhirnya perlahan-lahan Arfan mulai menyerah. Apalagi arti dari sikap Adhis kalau bukan “tidak”?
****
Sudah dua tahun dia tidak melihat senyum itu lagi, senyum ceria dari sahabatnya. Adhis sedikit berterima kasih kepada teman-teman sekolahnya dulu yang berinisiatif mengadakan acara reuni ini. Dia bisa bertemu dengan Aza yang sudah tidak dia lihat lagi semenjak masuk ke sekolah yang berbeda.
“Eh, Arfan tidak datang?” tanya Gilang.
Adhis terdiam sejenak mendengar nama yang sudah lama tidak dia dengar lagi. Tiba-tiba dia teringat wajah dan tatapan lelaki itu saat tanpa sengaja bersitatap dengannya.
“Dhis, sebenarnya ada yang selama ini tidak kuceritakan padamu,” bisik Aza.
Tiba-tiba saja Aza menarik sahabatnya menjauhi kerumunan. Mereka duduk di meja cafe yang hanya ada mereka berdua saja sehingga dengan leluasa Aza bisa menyampaikan mengenai perasaan Arfan yang selama ini hanya berhenti di dirinya.
“Waktu itu aku dengar Arfan dekat dengan perempuan lain, jadi kupikir dia hanya mau bermain-main denganmu dan kamu juga bukan orang yang peduli dengan hal-hal seperti itu, tapi tidak lama ini aku baru tahu kalau ternyata perempuan itu yang menyukai Arfan dan menyebarkan rumor aneh.”
Adhis masih terdiam setelah mendengar potongan masa lalu yang selama ini tidak dia ketahui. Tiba-tiba ingatannya tentang Arfan terputar bak film. Arfan yang menyapanya, Arfan yang tersenyum, Arfan yang membelikannya minum, Arfan yang menemukan bukunya. Dia baru menyadari bahwa banyak hari di masa lalunya yang disertai dengan Arfan.
“Arfan~”
Adhis tersentak dan menoleh ke sumber keributan. Ternyata itu Arfan yang disambut meriah oleh teman-temannya yang berisik. Tidak banyak berubah darinya. Bahkan senyumnya masih sama, hanya tinggi dan gaya rambutnya yang menampakkan perubahan.
“Dhis, gabung dengan yang lain, yuk? Tidak enak kalau kita mojok seperti ini apalagi semua orang sudah datang,” ajak Aza yang langsung saja menarik tangan sahabatnya tanpa menunggu respon terlebih dahulu.
Saat bergabung dengan yang lain, mata Arfan dan Adhis bertemu yang langsung saja dibalas dengan senyum Arfan, tapi kali ini senyum ceria yang lebar. Arfan sedikit tidak menyangka saat senyumnya langsung disambut baik oleh Adhis dengan senyum yang sama. Bagi Arfan itu hal yang sedikit wajar. Mungkin saja seiring berjalannya waktu Adhis sudah mulai berubah sama seperti dirinya.
“Fan, bagaimana Palu?” tanya Rafa.
Arfan mengalihkan perhatiannya dari Adhis. Dia memulai perbincangan ramai bersama teman-teman lamanya. Adhis memang pernah mendengar bahwa Arfan melanjutkan sekolahnya di luar kota. Dia juga ingin menanyakan hal yang sama. Bagaimana kabarnya? Apa dia betah di Palu? Apa dia sudah melupakan masa-masa sekolah dulu karena senang dengan kota barunya?
Hingga acara reuni selesai, akhirnya Adhis tak mampu mengeluarkan satu kata pun untuk bertanya pada Arfan. Lagipula Arfan juga tampak sibuk dengan teman-temannya bahkan dia tidak sempat melirik ke arahnya.
“Dhis, kamu pulang naik apa?”
Tiba-tiba Adhis tersentak karena dikagetkan oleh suara seseorang saat sedang melamun menunggu jemputan di depan cafe. Sudah tidak ada lagi tanda teman-temannya yang tersisa di cafe. Semua sudah pulang, kecuali seseorang yang kini berada di hadapannya.
“Arfan? Eee... Aku dijemput,” jawab Adhis berusaha bersikap sesantai mungkin.
Arfan mengangguk dan menggunakan helmnya dengan cepat. “Okay, kalau begitu aku duluan, ya.”
 Dengan cepat Arfan menghilang bersama motor matic­-nya. Adhis bahkan belum sempat berkata apapun. Kalau dipikir-pikir lagi apa Arfan marah padanya? Sebelumnya, saat di group chat, Arfan menyapa dan bercanda dengan banyak teman lamanya kecuali dirinya. Saat reuni tadi Arfan menanyakan kabar banyak orang, kecuali dirinya. Bahkan tadi, Arfan seakan-akan tidak mengindahkannya.
Sejujurnya, saat mendengar perkataan Aza tadi, ada sedikit perasaan senang di hati Adhis. Saat Arfan tersenyum padanya, ada sedikit rasa hangat yang memanaskannya. Saat dia kembali mengenang Arfan, ada sedikit harapan yang tumbuh tanpa kendali di dadanya. Tiba-tiba dia penasaran akan satu hal: apakah perasaan Arfan masih sama seperti dulu?
Namun, waktu membawa Adhis menuju kesimpulan yang berbeda. Jangankan mengharapkan perasaan yang dulu, Arfan bahkan bersikap sangat tidak peduli padanya, seakan-akan dia bukan siapa-siapa. Ya, dia memang bukan siapa-siapa, tapi bukankah dulu Arfan menyukainya? Atau jangan-jangan karena sikap tidak pedulinya Arfan ingin balas dendam agar dia juga merasakan perasaan yang sama seperti yang dia lakukan dulu pada Arfan?
Saat acara reuni berikutnya, hal yang mengejutkan terjadi. Arfan datang bersama seorang perempuan yang diakui sebagai pacarnya. Perempuan tersebut sangat anggun dan feminim. Teman-teman lainnya menggodai mereka yang sontak memberikan semu merah di pipi mereka berdua. Melihat hal tersebut, Adhis mengundurkan diri menuju taman cafe yang sepi karena hanya diterangi lampu remang-remang. Dia malu pada dirinya yang menumbuhkan harapan pada Arfan.
“Adhis.”
Adhis menoleh dan mendapati Arfan yang sudah berdiri di sampingnya entah sejak kapan. Kehadiran Arfan justru membawa rasa malu yang dirasakan Adhis semakin berat.
“Fan,” Adhis memberanikan diri untuk berbicara. “Maaf, ya, kalau mungkin dulu aku begitu cuek. Aku tidak bermaksud untuk cuek terhadap siapapun, tapi aku memang orangnya seperti itu.”
“Kenapa kamu tiba-tiba minta maaf?” tanya Arfan mengernyitkan dahinya, bingung.
“Tidak. Hanya saja kurasa kamu agak marah soalnya kamu sering mengabaikanku, jadi kupikir itu karena...” Adhis menggantung kata-katanya.
Tanpa diduga Arfan justru tertawa kecil. “Maaf, ya. Aku bukannya marah atau ingin mengabaikanmu hanya saja aku berusaha untuk menjadi senormal mungkin. Kamu tahu kan dulu aku menyukaimu?”
Jlebb. Itu kata-kata yang dihindari Adhis selama ini, tapi justru diucapkan langsung oleh orangnya.
“Makasih, ya,” ucap Arfan yang langsung saja membuat Adhis bingung. “Karena aku menyukaimu dulu, aku jadi sadar bahwa terkadang ada beberapa hal di dunia ini datang hanya sekadar untuk mengajari kita bertahan dari rasa pahit, sedih, patah, dan rapuh. Tapi aku tidak menyalahkanmu. Seperti yang kubilang tadi, makasih, karena semua perasaan yang kamu berikan aku jadi tahu cara untuk bertahan, menjadi kuat, dan cara untuk melepaskan beberapa hal di dunia ini.”
Adhis tersenyum. Seandainya saja penerangan di taman itu jelas, Arfan pasti sudah melihat matanya yang berkaca-kaca.
Arfan menepuk lembut pucuk kepala Adhis. “Aku sepertinya bukan jawabanmu. Suatu saat nanti kamu pasti akan menemukan orang yang sesuai dengan harapanmu.”
Adhis mengangguk cepat dan tetap mempertahankan senyumnya.
“Iya, kamu jawabanku. Harapanku adalah kamu. Tapi kemudian aku sadar saat kata ‘dulu’ keluar dari bibirmu. Aku juga sudah diberi kesempatan untuk belajar darimu. Belajar bertahan, menjadi kuat, dan melepaskanmu.”
Adhis berharap batinnya itu dapat menjawab Arfan, tapi pada akhirnya dia hanya menyimpannya sendiri. Ada kalanya semua akan baik-baik saja saat tak ada yang mengetahui perasaannya.
Adhis dan Arfan kembali masuk ke cafe dan berbaur dengan yang lain. Adhis juga sempat berbincang dengan pacar Arfan. Tak masalah. Dia baik-baik saja. Dia sedang belajar, dia berproses, maka dia akan baik-baik saja.

Selesai

Komentar

Postingan Populer