Cerpen: Hear My Heart


HEAR MY HEART!
by: nov


“Ai-chan, maaf yah kemarin aku tidak datang ke taman, soalnya tiba-tiba badanku sakit semua karena latihan basket kemarin.”
Tomoya-senpai tersenyum memohon pengertian. Aku hanya mengangguk dan tersenyum ceria seperti biasanya, tersenyum seakan semuanya baik-baik saja.
“Apa benar tidak apa-apa? Padahal aku yang mengajak janjian, tapi malah aku juga yang mengingkarinya.”
“Tentu saja tidak apa-apa. Lagipula kemarin aku juga tidak datang ke taman karena ku pikir akan turun hujan.”
“Baguslah. Kalau begitu aku kembali ke kelas yah. Sampai jumpa.”
Aku melambaikan tanganku sambil tersenyum ceria pada Tomoya-senpai, tapi sepertinya Tomoya-senpai tidak melihatnya karena dirinya yang memunggungiku sudah pergi makin jauh tanpa menoleh lagi sedikit pun.
“Jadi Tomoya-senpai yang membuatmu hujan-hujanan seperti pengemis kemarin?”
Aku tersentak dan menoleh ke sumber suara. Ku lihat cowok sok keren dengan pakaian berantakan dan mata biru pucat berdiri di belakangku dengan gayanya yang khas : mengangkat kepala dengan angkuh dan memasukkan kedua tangan di saku celana. Yah, aku masih ingat wajah lelaki itu ketika melemparkanku beberapa uang koin dengan angkuh di taman kemarin.
“Diamlah, Kagayama!” bentakku.
Kagayama menyeringai. “Selalu kasar seperti biasanya yah. Dasar, gadis bertopeng!”
Aku pergi meninggalkan Kagayama, tidak memedulikan ucapannya yang selalu menjadi salam sapaannya tiap kali bertemu denganku. Saat ini yang ku inginkan hanya tempat yang tenang seperti halaman belakang sekolah yang luas dan ditumbuhi banyak pohon-pohon dan bunga-bunga. Aku menempatkan diriku di bangku taman di bawah pohon tua, tempat yang selalu menjadi penenang hatiku karena selain sepi tempat ini juga selalu terasa sejuk ketika jam istirahat.
Oh iya, namaku Nanase Aiko. Orang-orang selalu memanggilku Ai-chan karena menurut mereka senyum ceriaku dan tubuh mungilku membuat semua orang gemas. Aku bersekolah di sekolah yang sama dengan Tomoya Shiro, kakak kelasku yang populer dan disukai banyak orang. Tomoya Shiro adalah tetanggaku yang sudah ku sukai sejak dulu. Walau kami tetangga, tapi kami tidak begitu dekat. Aku menyukai Tomoya Shiro karena dia sangat baik padaku, dia karismatik, dan atletis. Mungkin karena hal tersebut Tomoya-senpai menjadi populer dan disukai banyak orang.
Aku mempunyai musuh di kelas yang selalu mencari masalah denganku, namanya Kagayama Akashi. Dia selalu dianggap pangeran tampan di kelas karena wajahnya memang mempesona dan sikap dinginnya membuat banyak siswi meleleh, tapi percayalah itu semua hanya sandiwara. Kagayama yang asli adalah orang menyebalkan yang selalu bersikap sok keren dan berbicara sok bijak. Dia lebih cerewet dari kelihatannya. Walau sebenarnya aku dan Kagayama pun sama. Aku selalu tersenyum pada semua orang dan membantu semua orang yang membutuhkan bantuanku, tapi sebenarnya bukan itu yang ku rasakan. Sama seperti kemarin. Aku hujan-hujanan demi menunggu Tomoya-senpai yang mengajakku jalan-jalan ke taman, tapi ternyata dia tidak datang dan aku hanya bertemu dan bertengkar dengan Kagayama. Ketika aku bilang “tidak apa-apa” pada Tomoya-senpai, sebenarnya bukan itu yang kurasakan. Aku sangat kecewa. Aku sangat sedih Tomoya-senpai bisa tersenyum seperti itu dan meminta maaf dengan mudahnya, tapi kenapa aku selalu takut untuk mengatakan isi hatiku? Yah, itu mungkin karena aku terlalu takut dibenci oleh semuanya. Aku selalu berharap nantinya ada orang yang ketika aku bilang “Tidak apa-apa”, dia bisa mendengar isi hatiku yang sebenarnya dan tahu bahwa rasanya sangat menyakitkan.
*****
“Nanase, Kagayama, kemari!”
Aku berjalan dengan kepala tertunduk menghampiri Kujou-sensei, sementara itu Kagayama berjalan di belakangku dengan wajah sok berani dan sok kerennya, padahal yang dihadapi ini adalah Kujou-sensei, Guru Bahasa Inggris yang terkenal karena sikapnya yang tidak segan-segan menyiksa orang-orang yang bersalah dimatanya.
“Nanase, di mana tugas rumahmu? Bukankah biasanya kamu paling rajin?” tanya Kujou-sensei ketika aku sudah berdiri pasrah di depannya.
Bukannya aku tidak mengerjakan pekerjaan rumahku. Aku selalu mengerjakan tugas karena itu aku selalu mendapat peringkat pertama di kelas, hanya saja tadi pagi Ayumi, teman sekelasku yang meminjam bukuku mengatakan bahwa buku itu hilang dan dengan begitu aku hanya bisa tersenyum dan mengatakan “Tidak apa-apa”.
“Eeto… Maaf, tugas saya hilang,” jawabku masih dengan menundukkan kepala.
“Alasan!” bentak Kujou-sensei membuatku tersentak dan ketakutan. “Bagaimana denganmu Kagayama? Bukankah kamu juga biasanya rajin mengerjakan tugas?”
Tentu saja. Kagayama Akashi bukan hanya musuhku yang selalu menggangguku, tapi dia juga merupakan rivalku. Kadang aku selalu iri padanya. Kagayama selalu bersikap tidak peduli pada pembelajaran dan kadangpun bolos, tapi otaknya tetap saja tidak bisa diremehkan. Ingatannya sangat kuat. Dia bahkan bisa menandingiku kalau dia mau. Aku yakin kalau dia belajar dengan sungguh-sungguh, pasti dia bisa masuk kelas akselerasi.
“Aku lupa membawa tugasku,” jawab Kagayama dengan santai.
“Alasan! Kalian berdua benar-benar berani cari masalah dengan saya! Tapi karena kalian merupakan murid yang paling pintar di kelas ini, jadi saya akan memberikan keringanan. Kalian cukup membersihkan semua toilet yang ada di sekolah ini. Semua harus bersih besok.”
“HAHH?!”
Mataku membulat, begitupun dengan mulutku. Bagaimana tidak, di sekolah ini ada total 8 toilet cowok dan cewek. Apakah sempat untuk menyelesaikannya dalam sehari, belum lagi toilet di sekolah ini tidak terawat, pasti bau sekali.
“Lakukan sekarang juga karena saya tidak mengizinkan kalian masuk ke kelas saya hari ini!” teriak Kujou-sensei.
Aku dan Kagayama mengangguk serempak dan segera meninggalkan kelas.
“Tunggu, Nanase…”
Aku dan Kagayama sontak berbalik ketika tanganku hendak membuka pintu kelas.
“Tolong bawa tugas-tugas temanmu ke ruanganku.”
Aku hanya mengangguk dan segera mengambil tumpukan buku-buku di atas meja guru dan segera menuju ke ruangan guru diikuti oleh Kagayama di belakangku.
“Tidak mau dibantu?” tanya Kagayama ketika kami sudah jauh dari pintu kelas.
Aku menoleh dan menatap Kagayama dengan jengkel. Bagaimana mungkin aku tidak butuh bantuan. Bukankah dia bisa melihat jelas seorang perempuan mungil membawa tumpukan buku berat? Tentu saja aku butuh bantuan.
“Aku baik-baik saja,” jawabku, ketus.
“Oh,”
Aku mengepalkan tanganku, berusaha memendam amarahku. Bagaimana bisa Kagayama setega itu melihatku seperti ini. Walaupun aku musuhnya, tapi aku tetap perempuan. Tapi tidak dibantu juga tidak masalah karena ruang guru dekat dengan kelas, jadi hanya sebentar saja tumpukan buku-buku yang ku bawa sampai dengan selamat dan terletakkan dengan rapi di meja Kujou-sensei.
“Lama sekali. Aku tunggu di toilet lantai bawah yah,”
Aku mengepalkan tanganku, kesal mendengar Kagayama yang bicara dengan santainya dan bersikap sok keren. Ketika aku berbalik hendak memarahi Kagayama, ku lihat Kagayama sudah menghilang. Anak itu pasti sudah pergi duluan. Aku menatap tumpukan tugas yang ku bawa tadi dan memastikan semua sudah beres, tapi tanpa sengaja perhatianku terpusat pada sebuah buku tulis yang sangat akrab. Aku mengambil buku tersebut dan memeriksanya. Nama yang tertulis di buku tersebut adalah Misaki Ayumi. Buku itu milik Ayumi, tapi bagaimana mungkin? Aku bisa mengenali dengan jelas milikku dan aku tahu buku itu adalah milikku.
*****
“Haaahhhh…..” Aku menghela nafas lega.
Akhirnya 8 toilet sudah kami bersihkan. Aku menghempaskan tubuhku di kursi taman dekat pagar sekolah. Langit sudah begitu gelap, tapi badanku terlalu kaku untuk melangkah pulang.
“Ai-chan? Belum pulang?”
Aku menoleh dan mendapati Tomoya-senpai yang keringat mengenakan baju basketnya melangkah ke arahku.
“Tomoya-senpai? Baru selesai latihan?” tanyaku.
Tomoya-senpai mengangguk. “Kamu sendirian? Bukankah biasanya kamu bersama Ayumi?”
Aku tertegun. Lagi-lagi nama Ayumi membuatku mengingat kejadian buku tulis itu lagi.
“Ai-chan!”
Aku tersentak dan menyadari bahwa Tomoya-senpai berdiri di depanku dengan wajahnya yang sedikit kebingungan.
“Oh iya, soal yang ingin ku bicarakan ketika janjian di taman itu, bisakah ku katakan sekarang?” tanya Tomoya-senpai.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja. Apa yang ingin Tomoya-senpai bicarakan?”
Tomoya-senpai duduk di sampingku dan terlihat salah tingkah. “Sebenarnya setelah pertandingan basket minggu ini, aku ingin mengatakan perasaanku pada seseorang…”
Jantungku berdetak cepat mendengar hal tersebut. Perasaan Tomoya-senpai? Apakah maksudnya pengakuan cinta?
“Maka dari itu aku butuh bantuanmu. Aku ingin kamu datang ke pertandingan nanti bersama Ayumi.”
Detak jantungku terasa berhenti seketika. Bersama Ayumi? Bukankah itu berarti orang yang disukai senpai adalah Ayumi? Aku memang tidak begitu kaget karena dari dulu senpai memang selalu membicarakan tentang Ayumi ketika bersamaku, tapi… aku hanya ingin tahu.
“Senpai… maksud senpai… perasaan senpai pada Ayumi… Apa itu cinta?” tanyaku setengah berharap senpai akan menggeleng.
“Sebenarnya aku hanya tertarik pada Ayumi. Kau tahu, dia cantik, baik, dewasa, dan sangat sopan. Tidak apa-apa kan kalau aku meminta bantuanmu?”
Aku menggeleng sambil berusaha tersenyum ceria. “Tentu saja tidak apa-apa. Aku akan senang hati membantu senpai.”
Senpai tersenyum, lalu pamit pulang.
Pada akhirnya Tomoya-senpai tetap tidak bisa mendengar isi hatiku. Tomoya-senpai, tahukah kamu kalau dibalik kata “tidak apa-apa” tadi tersirat kesedihan di hatiku?
“Capek?” tanya Kagayama sambil melemparkan sekaleng minuman dingin dan untung saja berhasil kutangkap dengan kedua tanganku.
“Terima kasih.”
Aku membuka minuman kaleng tersebut dan meminumnya dengan tidak semangat.
“Tadi itu Tomoya-senpai yah?” tanya Kagayama sambil duduk di sampingku dan meminum minuman kaleng yang juga dibeli untuk dirinya sendiri.
Aku hanya menggangguk.
“Soal tugasmu, aku tahu kamu sudah mengerjakannya, tapi sepertinya Ayumi―”
“Cukup!” bentakku mememotong perkataan Kagayama. “Aku tahu! Dari awal aku tahu semuanya! Aku hanya berharap aku tidak tahu. Aku hanya tidak ingin… Kenapa sangat menyakitkan… Aku tidak ingin tahu…”
Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku. Aku menundukkan kepalaku dan mengepalkan tanganku sekuat mungkin. Rasa sakit yang ku rasa, membuatku merasa ingin menangis, tapi aku tidak boleh melakukannya. Aku harus kuat!
“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanya Kagayama.
“Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” jawabku.
“Jangan bohong! Kamu merasa sedih, bukan?”
Aku mengangkat kepalaku dan menatap Kagayama yang dari tadi menatapku dengan cemas.
“Dari matamu saja sudah terlihat betapa sedihnya dan hancurnya hatimu. Apa kamu masih bisa bilang ‘tidak apa-apa’? Apa kamu begitu mudahnya bilang ‘baik-baik saja’ di saat kamu merasa sangat sakit? Kau sedang tidak baik. Aku tahu itu.”
Aku tertegun.
Aku selalu berharap nantinya ada orang yang ketika aku bilang “Tidak apa-apa”, dia bisa mendengar isi hatiku yang sebenarnya dan tahu bahwa rasanya sangat menyakitkan.
Kenapa? Kenapa orang itu harus Kagayama? Kenapa harus Kagayama yang mendengar isi hatiku? Kenapa harus orang yang paling ku benci yang mengetahui arti tersirat dari kata ‘tidak apa-apa’-ku?
Kagayama mengelus rambutku dengan lembut, padahal seingatku dia selalu mengacak-acak rambutku, tapi sekarang benar-benar berbeda. “Menangislah ketika kamu merasa ingin. Biar seisi dunia tahu siapa kamu yang sebenarnya dan biar seisi dunia bisa mencintai Nanase Aiko apa adanya.”
Aku terdiam sesaat merasakan kelembutan usapan dan kata-kata Kagayama, lalu beberapa detik kemudian tangisku pun pecah.
*****
Pagi hari yang seperti biasa. Aku menyapa orang-orang dengan senyuman sesakit apapun hatiku saat itu. Ketika sampai di kelas, aku berpapasan dengan Kagayama. Kejadian kemarin terputar di memoriku membuat wajahku merona dan salah tingkah. Itu untuk pertama kalinya aku menangis di depan orang lain setelah sekian lama aku memendam perasaanku.
“Ai-chan!”
Aku menoleh menuju asal suara yang memanggilku. Ku lihat Ayumi dan teman-teman kelas yang lainnya serta Tomoya-senpai berkumpul di sudut kelas, lebih tepatnya di bangkuku. Awalnya aku bingung, tapi melihat Tomoya-senpai berdiri di dekat Ayumi aku jadi mengerti. Mungkin Tomoya-senpai baru saja mengatakan perasaannya pada Ayumi, wajar saja kalau itu membuat heboh seisi kelas.
“Kamu harus dengar ini Ai-chan! Aku temukan buku ini di laci meja Kagayama-san.”
Aku mengernyit. Ku lihat Ayumi bersiap untuk membaca sebuah buku berukuran kecil bermotif kotak-kotak. Ayumi membaca buku tersebut dengan suara yang lantang sehingga dapat didengar seisi kelas.
Aku punya seseorang yang kusukai. Namanya Nanase Aiko. Dia selalu tersenyum dan menolong semua orang, tapi sebenarnya dia sangat rapuh. Dia tidak pandai mengutarakan perasaannya yang sebenarnya, tapi tanpa dikatakan pun aku sudah tahu apa yang dirasakannya. Aku sangat suka menulis tentangnya. Menulis tentang hal yang disukai ataupun pertengkaran kecil kami. Aku suka mengganggunya karena sebenarnya dia lebih manis ketika menampakkan dirinya yang sebenarnya daripada harus berpura-pura tersenyum. Tapi Nananse Aiko menyukai Tomoya Shiro padahal Tomoya sama sekali tidak pernah memandang Aiko. Seandainya saja Aiko bisa mengalihkan pandangannya dari Tomoya sebentar saja, aku yakin dia pasti bisa melihat bahwa aku siap menerimanya apa adanya.
Mulutku terbuka lebar mendengar isi dari buku yang dibacakan Ayumi. Apa maksud buku tersebut? Benarkah buku itu milik Kagayama?
Aku menoleh dan ku lihat Kagayama menundukkan kepalanya dengan tangan mengepal yang bergetar. Telingannya terlihat sangat merah.
“Ternyata selama ini Kagayama-san menyimpan perasaan pada Ai-chan? Dan Ai-chan, apa benar kamu menyukai Tomoya-senpai?” tanya Ayumi.
Sedetik kemudian seisi kelas penuh dengan komentar-komentar.
“Kagayama ternyata sangat pengecut.”
“Dia sebenarnya orang yang pemalu.”
“Dia terlalu berlebihan.”
“Apa benar Ai-chan menyukai Tomoya-senpai?”
“Wah, pasti malu sekali. Buku hariannya dibaca di depan kelas dan di dengar semua orang.”
Sementara komentar-komentar lainnya meluncur bertubi-tubi, aku hanya diam dan tidak tahu harus bilang apa.
“Itu memang benar!” teriak Kagayama.
Aku menoleh dan melihat Kagayama sudah menegakkan kepalanya dan teriakannya berhasil membuat seisi kelas hening.
“Aku memang menyukai Aiko, tapi sebenarnya Aiko tidak menyukaiku bukan karena dia menyukai Tomoya Shiro, tapi karena Aiko terlalu sibuk memikirkan semuanya. Aiko tidak menyukai Tomoya Shiro, dia hanya kagum dengan kemampuan basket Tomoya dan aku salah paham karena itu.”
Aku terdiam. Kagayama… Dia masih sempat memikirkanku di saat-saat seperti ini.
“Itu memang wajar,” ujar Tomoya-senpai membuat perhatian kini tertuju padanya. “Aku memang memiliki banyak penggemar di sekolah ini dan sangat masuk akal kalau Ai-chan merupakan salah satu dari mereka. Aku tidak percaya Kagayama-kun menyukai salah satu siswi yang menyembahku.”
Aku mengepal tangan kesal. Baru ku sadari dulu betapa bodohnya diriku sehingga aku bisa menyukai cowok angkuh dan selalu memandang rendah orang lain seperti Tomoya-senpai.
Kagayama hanya membuang muka dan pergi meninggalkan kelas, lalu kepergian Kagayama membawa komentar dan kebisingan yang lebih, lebih, dan membuatku sangat kesal. Sudah cukup… Acara memakai topengnya.
“Diam kalian semua!” teriakku membuat seisi kelas menjadi hening dan juga kaget melihatku yang lemah lembut dan selalu ceria, tiba-tiba berteriak dengan kasar. “Kalian semua munafik! Kalau Kagayama mempunyai perasaan padaku, apa itu kesalahannya? Apa hak kalian untuk menertawakan perasaan orang lain? Orang yang bodoh dan banyak bicara seperti kalian lebih pantas untuk ditertawakan! Dan Tomoya-senpai, jangan terlalu sombong, itu hanya menunjukkan betapa bodohnya dirimu yang sebenarnya!”
Aku menatap tajam teman-teman kelasku yang wajahnya terlihat sangat kaget bahkan mungkin juga syok. Aku tidak peduli lagi. Ku banting pintu kelas dan berjalan menjauhi kelas. Tempat yang ingin ku kunjungi sekarang hanyalah halaman belakang sekolah.
*****
Aku terdiam membeku. Kagayama ternyata ada di tempat biasa aku menenangkan pikiran. Rambutnya diacak-acak oleh angin. Mata biru pucatnya menatapku dengan sendu. Bibir tipisnya mengembangkan senyum.
“Ini tempatmu biasa menenangkan pikiran yah? Maaf karena meminjam tempat ini tanpa permisi,” ujar Kagayama.
“Kamu ini bicara apa? Tempat ini adalah tempat umum,” sahutku.
Aku mendekati Kagayama dan duduk di sampingnya. Kami hanya diam dan mendengarkan hembusan angin musim gugur. Entah mengapa, ini untuk pertama kalinya aku merasa nyaman di dekat seseorang dalam keadaan hening seperti ini, biasanya aku akan memulai percakapan karena takut orang tersebut merasa canggung, tapi sekarang aku malah merasa keadaan ini sangat nyaman.
“Maaf karena selama ini selalu mengganggumu,” ujar Kagayama, memecahkan keheningan.
Aku menggeleng dan tersenyum. “Tidak apa-apa.”
Kagayama tersenyum. “Itu senyummu yang sebenarnya. Sangat indah.”
Aku terdiam dan menundukkan kepalaku ketika menyadari pipiku mulai merona.
Kagayama… Dia bahkan tahu senyumku yang sebenarnya. Dia tahu banyak tentangku lebih dari yang kubayangkan.
“Kagayama… bisakah mulai sekarang kamu menerimaku apa adanya dan aku pun akan berusaha untuk menerima Kagayama apa adanya,” ucapku.
Kagayama terdiam, lalu sedetik kemudian dia tersenyum. “Kita mulai dari kamu memanggilku Akashi.”

SELESAI



Komentar

Postingan Populer