BUKU BRAILLE DAN KEBUTUHAN LITERASI DISABILITAS NETRA DI KOTA MAKASSAR


BUKU BRAILLE DAN KEBUTUHAN LITERASI DISABILITAS NETRA

DI KOTA MAKASSAR



Thania Novita



Sepotong Cerita Tentang Perpustakaan

Gadis itu mengerjap beberapa kali, menyadari ada yang berbeda dari terakhir kali dia datang. Jalur kuning menarik perhatian di antara ubin biru keabu-abuan. Dia mengikuti jalur bertekstur tiga garis lurus ke depan sembari menjaga keseimbangan seolah-olah dia akan jatuh jika keluar dari warna kuning. Tiap persimpangan, tekstur ubin berubah menjadi bulat-bulat sebagai penanda bahwa terdapat pilihan jalur; lurus atau belok. Kali ini perhatiannya teralihkan dengan renovasi perpustakaan yang semakin estetik dan lengkap. Satu hal paling menonjol adalah rak kayu berdebu yang selalu tampak kusam. Dulu, di sana terdapat buku-buku braille, tapi tak perlu sekalipun dia melihat ada yang menyentuh. Mungkin karena tak semua bisa membacanya. Sekarang, keadaannya lebih mengenaskan. Tidak ada sehelai kertas pun. Hanya rak kosong yang diisi oleh debu.

Sontak gadis itu bertanya pada petugas perpustakaan yang tampak sibuk dengan komputernya, tetapi masih dapat merespon tiap kali ada suara yang menyapa. "Bu, dulu di situ ada braille corner. Sekarang tidak ada mi?"

"Oh ada. Itu di sana," sahut staf tersebut sembari menunjuk ruangan yang bertuliskan "BRAILLE CORNER" besar pada bagian atasnya seakan menjadi identitas agar tak perlu ada orang sepertinya yang bertanya-tanya.

Sembari tersenyum malu, dia berterima kasih dan segera memasuki ruangan yang asing itu. Sepertinya hasil renovasi tahun lalu. Ruangannya tertutup, tetapi pintu kaca membuatnya terlihat dari luar. Terdapat rak buku-buku dengan titik timbul berjejer di sebelah kanan serta tempat CD yang ditempeli kertas titik timbul. Beberapa mahasiswa sibuk dengan komputer yang terdapat di ruangan tersebut. mereka datang untuk keperluan komputer, bukan bahan bacaan.

“Adek dari mana?”

Tanpa disadari, petugas perpustakaan yang tadi sudah berdiri di belakangnya dengan senyum ramah. Dia terus mengajukan pertanyaan seputar identitas dan tujuan kunjungan yang membuat gadis itu merasa sedikit canggung karena berpikir diinterogasi.

“Maaf ya, Dek. Saya tanya-tanya begini karena ini pertama kalinya ada yang berkunjung ke corner ini sejak diresmikan setahun lalu.”

Gadis itu sedikit tercengang. Bahkan dengan fasilitas inklusi yang sebaik ini, masih belum ada juga disabilitas netra yang mengakses. Padahal jika dibandingkan dengan Perpustakaan Wilayah Sulsel yang rak buku braille tidak dikelola apalagi perpustakaan yang tidak menyediakan bahan bacaan braille, tentu saja tempat ini lebih baik. Sementara petugas perpustakaan itu hanya berdiri di hadapannya, tersenyum, menahan niat baik lantaran tidak punya pengetahuan akan kebutuhan yang diperlukan pengunjung corner.


Pemenuhan Literasi Disabilitas Netra

Disabilitas mengacu pada keadaan yang menghambat seseorang dalam berinteraksi atau melaksanakan kegiatan sehari-hari. Karena itu, disabilitas membutuhkan kebutuhan atau keadaan khusus. Kebutuhan ini berbeda berdasarkan jenis disabilitasnya. Untuk Penyandang Disabilitas Sensori Netra (PDSN) yang memiliki hambatan dalam penglihatan, dari segi kebutuhan literasi misalnya, memiliki sistem tulisan sendiri yang bernama Braille. Braille adalah sistem tulisan yang pada dasarnya terdiri dari enam titik timbul. Keenam titik timbul ini disusun sedemikian rupa menjadi abjad dan angka. PDSN perlu mengoptimalkan indera lainnya dalam beraktivitas sehari-hari. Braille ini dirancang agar memudahkan PDSN dalam baca tulis.

Mengakses bahan bacaan bagi PDSN tidak hanya bergantung pada buku fisik berupa braille saja. Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) mendukung kolaborasi antara non disabilitas dan PDSN melalui program Mitra Bakti. Dalam menghadapi tantangan lantaran lingkungan yang belum inklusif, Pertuni melibatkan volunter awas yang disebut Mitra Bakti. Salah satu program atau aktivitas yang dilakukab oleh Mitra adalah membacakan buku untuk PDSN. Sampai sini, literasi dapat diakses melalui huruf braille dan suara (dibacakan).

Didukung oleh perkembangan teknologi yang memudahkan manusia, berkembanglah teknologi yang lebih ramah pada PDSN, salah satunya adalah pembaca layar. Pembaca layar ini secara otomatis membacakan ebook atau file tulisan dari ponsel maupun laptop/komputer agar bisa ditangkap oleh PDSN. Berkembang juga konsep audio book; buku yang dibacakan. Terdapat beberapa aplikasi audio book. Pemerintah pun, dalam hal ini Kemedikbud mengembangkan website untuk mengakses bahan bacaan buku sekolah baik dalam bentuk ebook maupun audio book. Namun, teknologi tidak selalu bisa menuntaskan masalah manusia. Untuk buku-buku tertentu, utamanya buku yang terdapat banyak gambar, pembaca layar sulit untuk membaca sehingga masih ada keterbatasan dalam mengakses bahan bacaan. Selain itu, untuk PDSN yang berdomisili di daerah yang masih melokal, ada keterbatasan mengakses teknologi entah karena jaringan atau tidak terbiasa. Misalnya, Bakhrie, salah satu disabilitas netra asal Selayar yang selama di kampungnya harus mengakses bahan bacaan melalui braille karena jaringan yang kurang baik dan orang-orang di kampung yang ketergantungan terhadap ponsel masih rendah. Tentu saja kasus ini tidak hanya terjadi di kabupaten/kota kecil yang jauh dari Makassar. Saya pernah mengunjungi daerah Tompobulu di Maros saat masa sekolah online berjalan karena pandemi. Anak-anak harus belajar mandiri dengan modal satu buku teks per mata pelajaran lantaran masyarakat belum menggunakan listrik apalagi ponsel. Jika Pak RT perlu menghubungi seseorang, dia harus turun jalan kaki beberapa kilo untuk pinjam telepon di kantor desa. Daerah yang saya ceritakan di Tompobulu ini dapat ditempuh hanya dengan waktu kurang lebih satu setengah jam berkendara motor dari Universitas Hasanuddin, Kota Makassar. Harus diakui, perkembangan daerah di Indonesia secara keseluruhan, begitupun Sulawesi Selatan, sangat tidak merata. Karena itu, braille masih menjadi kebutuhan dasar PDSN di beberapa daerah untuk dapat mengakses literasi.


Penerbitan Buku Braille

Sampai saat ini, hanya terdapat satu penerbit yang menerbitkan buku braille di Indonesia, yaitu Balai Literasi Braille Indonesia (BLBI) Abiyoso. BLBI Abiyoso sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI bertugas mengelola literasi braille di Indonesia berupa melakukan kegiatan pendistribusian buku-buku literasi braille kepada para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (PDSN) di seluruh Indonesia. BLBI Abiyoso menerbitkan Majalah Gema Braille yang berisi muatan mengenai disabilitas netra dan memberi kesempatan untuk menerbitkan tulisan PDSN agar mendukung literasi disabilitas netra. Selain itu, BLBI Abiyoso juga mencetak buku braille dan audio book. Untuk menjamin kebutuhan literasi ini mencakup seluruh PDSN, BLBI Abiyoso mempunyai program untuk membuat “braille corner” di perpustakaan setiap provinsi. Di Sulawesi Selatan terdapat di Perpustakaan Umum Universitas Hasanuddin. Selain itu, Majalah Gema Braille didistribusikan di perpustakaan, salah satunya Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan untuk menjamin pemenuhan literasi PDSN terpenuhi.

Wilayah kerja BLBI Abiyoso saat ini hanya di Cimahi dan Bandung. Lantas bagaimana Kota Makassar menyediakan literasi untuk PDSN? Selain melalui distribusi buku oleh BLBI Abiyoso, terdapat pula instansi yang memiliki mesin cetak braille untuk mencetak buku braille demi kebutuhan PDSN misalnya di SLB-A Yapti. Khusus di Yapti, mesin cetak digunakan untuk kebutuhan buku ajar PDSN di seluruh SLB se-Makassar. Adapun untuk mencetak buku secara pribadi dikenakan biaya. Ini yang menjadi masalah terbesar sulitnya meningkatkan kuantitas buku braille. Biaya produksi buku sangat berat. Perbandingan biaya buku cetak dan braille dapat mencapai beberapa kali lipat. Misalnya saja, jumlah halaman buku cetak dan buku braille berbanding 1:3. Hal ini berarti lebih banyak halaman dan kertas yang dibutuhkan. Selain itu, jenis kertas yang digunakan juga lebih mahal lantaran lebih tebal. Buku braille juga memiliki perawatan yang ketat. Harus dijaga agar tidak basah atau titik timbulnya akan hilang. Dipelihara dengan baik agar titik timbulnya tidak menyusut. Tidak hanya perawatan dan kertas, masalah utama adalah mesin cetak yang mahal dan belum dirancang efisein. Jangan bayangkan mesin cetak seperti printer yang mudah dibawa ke mana-mana. Mesin cetak braille dapat lebih besar dari mesin fotocopy. Ini juga yang menyebabkan bahkan buku-buku yang ditulis oleh PDSN diterbitkan dalam bentuk buku awas atau ebook.

Yapti hanya fokus mencetak buku-buku kurikulum sekolah. Sementara itu, ada kebutuhan bahan bacaan lebih luas yang perlu di akses oleh PDSN. Kebutuhan ini didorong pemenuhannya oleh pemerhati dan organisasi disabilitas seperti Perdik, salah satunya.


Kondisi Buku Braille di Makassar

Buku Braille di Kota Makassar dapat diakses di Braille Corner Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin. Braille Corner merupakan salah satu program upaya Kemensos dalam pemenuhan literasi PDSN, bekerja sama dengan BLBI Abiyoso dan universitas-universitas yang menargetkan pembentukan Braille Corner di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Sampai saat ini, Braille Corner Universitas Hasanuddin adalah satu-satunya di Sulawesi Selatan. Tahun lalu, Universitas Hasanuddin meningkatkan fasilitas inklusif yang sangat baik sehingga PDSN dapat lebih mudah mengakses Braille Corner. Tersedia buku braille, audio book, Alquran dan hadist, bahkan komputer. Meskipun begitu, Braille Corner tetap tak seramai corner-corner lainnya. Sejak direnovasi, belum ada PDSN yang datang untuk mengakses buku. Pengunjung PDSN Braille Corner umumnya didorong kehadirannya melalui kegiatan yang berkaitan dengan PDSN seperti pelatihan atau kunjungan instansi.

Bagi saya yang melihat Braille Corner ini sangat bagus dan termasuk lengkap, jika dibandingkan dengan Perpustakaan Wilayah Sulsel maupun perpustakaan lain yang bahkan tidak menyediakan buku braille, merasa heran. Namun, tentu saja bukan pendapat saya yang penting karena saya bukan target dari corner ini. Karena itu, saya meminta tanggapan pada salah seorang Mahasiswa Aktif Universitas Hasanuddin yang juga merupakan PDSN sekaligus pemerhati disabilitas, Lala. Menurutnya, ada beberapa alasan yang menjadi kekurangan dari Braille Corner. Pertama, tidak ada buku ilmiah yang dukung perkuliahan. Buku yang disediakan oleh BLBI Abiyoso mayoritas Majalah GEMA. Majalah GEMA merupakan bahan bacaan yang sifatnya umum dan tidak mendalam dari segi pembahasannya. Selain itu, audio book yang disediakan lebih pada bacaan fiksi saja. Sementara bagi mahasiswa atau akademisi, kebutuhan literasi mereka lebih pada bacaan mendalam dan ilmiah. Kebutuhan literasi yang kurang ini tak terlepas dari pengunjung corner. Menurut pustakawan, perpustakaan dapat meminta disediakan buku tertentu sesuai kebutuhan pengunjung corner, tetapi masalahnya pengunjung corner yang tidak ada membuat mereka kebingungan harus menyediakan buku seperti apa. Kedua, komputer yang disediakan ternyata belum aksesibel lantaran belum memiliki pembaca layar. Jadi, PDSN sulit mengaksesnya. Syukurlah pada kunjungan Lala ke Braille Corner, Lala membantu memasangkan pembaca layar sehingga sekarang komputer sudah lebih mudah digunakan oleh PDSN. Terakhir, ruang Braille Corner berbentuk ruang tertutup yang sepi pengunjung. PDSN, khususnya perempuan, rentan terhadap pelecehan seksual. Lala sendiri merasa model ruangan tidak membuatnya aman. Memang Braille Corner bermodel tertutup meskipun pintunya terbuat dari kaca transparan. Menurut saya, posisi pustakawan yang berada di luar Braille Corner juga menyulitkan untuk pemberian pelayanan yang optimal. Waktu saya mengunjungi Braille Corner, beruntung saya menanyakan lokasi corner pada pustakawan yang ada di luar sehingga dia dengan senang hati mendampingi saya. Namun, posisi corner dan pustakawan yang berbeda membuat pustakawan sulit mengontrol maupun mengawasi pengunjung.

Selain Braille Corner, terdapat perpustakaan lain yang juga menyediakan bahan bacaan braille seperti Perpustakaan Wilayah Sulawesi Selatan dan perpustakaan instansi berkaitan dengan PDSN (misal SLB-A Yapti dan Perdik). Di Perpustakaan Wilayah Sulawesi Selatan, terdapat pojok buku braille di lantai satu, seberang meja pustakawan. Pojok buku braille ini hanya berupa rak khusus Majalah GEMA dan koran yang jarang disentuh oleh pengunjung. Dari segi fasilitasnya, tidak ada ruang khusus. Rak buku bergabung dengan buku lain sehingga masih perlu ditingkatkan aksesibilitasnya. Menurut salah satu pustakawan, pojok buku braille tersebut juga belum dikelola secara khusus karenanya kurang mendapat perhatian.

Lantas bagaimana PDSN Makassar memperoleh informasi dan akses literasi selama ini? Mayoritas dari audio book dan ebook. Setiap elektronik (ponsel dan laptop) dapat dipasangkan pembaca layar yang membaca tulisan digital sehingga kebutuhan ebook tinggi. Namun, ada beberapa buku yang tidak bisa dibaca oleh pembaca layar entah karena error ataupun terlalu banyak gambar pada buku atau layout-nya. Selain itu, terdapat pula website pusat buku digital khusus buku teks sekolah di bawah naungan Kemendikbud (budi.kemendikbud.go.id) yang menyediakan buku digital dan audio book, meskipun audio book-nya masih sedikit. Terdapat pula aplikasi Pustaka Mitra Netra yang menyediakan koleksi buku digital dalam bentuk EPUB dan audio book. Menurut teman-teman disabilitas netra, mengakses literasi dengan audio book memang jauh lebih baik daripada buku braille. Alasannya, membaca buku braille membutuhkan waktu yang lebih lama. Dalam semenit kita bisa baca beberapa kalimat, tapi kalau dengan braille, semenit mungkin hanya baca satu kalimat. Membaca lama dengan buku braille juga dapat membuat jari kebas lantaran terus meraba titik. Ditambah masalah kurangnya bahan bacaan braille, banyak teman-teman yang berpindah ke bacaan digital dan audio book utamanya ebook.


Apakah Buku Braille Masih Dibutuhkan?

Mendengarkan buku dan membaca buku melalui braille itu tergantung selera setiap orang. Meskipun keadaan PDSN terdesak oleh ketersediaan literasi. Kebutuhan literasi PDSN sangat dibantu oleh teknologi. Di Makassar, banyak PDSN yang beralih ke buku digital, utamanya bagi akademisi yang memiliki tuntutan bacaan, tetapi tak didukung oleh ketersediaan.

PDSN memiliki kondisi dan selera yang berbeda-beda. Meskipun ketersediaan buku digital lebih tinggi, kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh informasi dari buku digital pun lebih banyak, sebagian PDSN lebih senang membaca buku braille daripada digital. Ini bisa saja dipengaruhi oleh lingkungan sebelumnya seperti pada cerita Bakhrie. Akan tetapi, kembali lagi pada kendala utama, bahan bacaan buku braille sedikit sehingga mau tak mau Bakhrie pun perlu mengakses audio book. Lantas apakah buku braille masih diperlukan di Kota Makassar atau kita hanya perlu mendorong ketersediaan buku digital saja? Buku braille bukan hanya sekadar literasi bagi PDSN, tetapi identitas. Sebaik apapun teknologi menyediakan bacaan bagi PDSN, takkan mampu menggantikan Buku Braille. Pada Braille melekat perjuangan kesetaraan dan sebagian dari diri PDSN itu sendiri.

*****


Telah terbit di Buku Antologi Tulisan "Terbit di Makassar". Penerbit Kedai Buku Jenny bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kota Makassar.






Komentar

Postingan Populer