Cerpen: Bertuhan Pada Layar
BERTUHAN PADA LAYAR
Murni
tidak hanya membekas di otak mungil yang pada masanya hanya kugunakan untuk
memenangkan permainan bekel bersama teman sebaya, tetapi juga di otak tiap
makhluk yang pernah melihatnya. Bukan berlebihan, tapi kucing peliharaan Murni
pun mengingat kebiasaan wanita rambut merah itu. Tiap kali Bambang (nama
kucing) mendapati ponsel tuannya tergeletak begitu saja, dia akan menggigit
tali ponsel dan membawakan Murni sembari mengeong seakan mengomel, “Kenapa kau
tak memainkan ponsel seperti biasanya? Kau buatku merinding.” Bukan hanya
Bambang, aku pun melakukan hal yang sama jika melihat Murni berjarak lebih dari
dua meter dari ponsel.
Saat
pertama kali bertemu Murni, kesannya sangat kuat. Alih-alih menjabat tangan,
dia menghadapkanku pada kamera ponsel sembari menyapa ramah. Sejak awal Ibu
memang telah mengingatkan bahwa akan datang kakak sepupu dari kota yang
pengikutnya ribuan orang. Aku mempersiapkan diri sebaik mungkin (baik
penampilan maupun perilaku), tapi saat dia datang, dia hanya datang sendirian.
Ada
ekspektasi tinggi yang meluncur cepat saat membangun basa-basi awal dengannya. Kebiasaan
Murni berbicara lebih banyak ke ponsel daripada ke orang-orang sekitarnya
membawaku pada kesimpulan mutlak bahwa kami takkan cocok. Namun, Ibu selalu
bilang bahwa manusia seperti bawang merah dan agar Murni dapat kukupas dalam,
Ibu mengirimku tinggal bersamanya.
Tentu
saja aku tahu bahwa alasan Ibu mengirimku sama seperti bawang. Semakin dikupas
semakin buat mata perih, hingga aku menangis hampir tiap malam karena mengingat
perjuangan Ibu di kampung menghadapi Bapak yang semakin ganas membahas tanah
warisan. Saat itu, tanpa sengaja Murni terkupas. Aku mengenal sosok lainnya
saat dia datang ke kamar dini hari hanya untuk memberikan pelukan atau teh
hangat. Meskipun besoknya dia akan membuat status tentang perasaan sedih karena
tak mampu menghiburku yang sudah dianggap adik sendiri.
Saat
pertama kali menghirup polusi kota, kupikir akan menemui orang-orang seperti
Murni. Memang benar, banyak sepertinya, tapi tak separah dia. Teman-teman di
sekolah masih bisa meninggalkan ponsel saat belajar ataupun ke toilet. Keluarga
Murni masih bisa meninggalkan ponsel saat makan ataupun tidur. Tapi Murni
adalah kasus kecanduan. Saat tidur saja dia harus mendengar suara jangkrik dari
ponsel, padahal di kampung suara jangkrik sering kali mengusik lelap Bapak.
Lebih lucu lagi, buang airnya tak lancar jika tak menghadap ponsel. Sakau
pernah dia alami ketika ponselnya dicuri tepat saat siaran langsung di pinggir
jalan. Dia bercerita pada pengikutnya tentang peningkatan kriminalitas di kota
dan sekejap ponselnya ditarik oleh orang asing bermotor matik. Dia tak bisa
tidur, kesulitan buang air, meracau tak jelas, dan sering menangis tiba-tiba.
Benar
kata Ibu, semakin lama tinggal seatap dengan seseorang, semakin aromanya
tercium jelas. Bukan hanya aroma asam yang jelas tercium setelah Murni tak
mandi beberapa hari saat ponselnya hilang, tapi juga aroma petrikor tercium
ketika dia diam-diam menangis sendiri di gudang. Tentu saja menangis adalah hal
yang biasa darinya. Sudah beberapa kali dia membuat status mengenai bulir air
mata yang menetes setelah menonton drama atau terkena pecikan minyak. Tapi
pemilik wajah glowing itu tak pernah
menangis diam-diam. Semakin mendapat perhatian, semakin dia merasa indah air
matanya hingga sering kali dipotret sebagai kenangan. Sayangnya, aku tak
seinisiatif Murni. Alih-alih membawakan segelas teh atau diriku sendiri untuk
disandari, aku malah pergi dan berpura-pura tuli.
Setelah
insiden menangis itu, aku lebih peka melihat Murni dan hal-hal di sekitarnya. Bodoh
memang, sudah setahun tinggal bersama, kesadaran akan kehidupannya yang sulit
tak kupahami. Dia pernah melepas cita-citanya sebagai dokter karena tak
sepandai kakaknya. Setelah menikahi suami dokter dan membesarkan anak sebagai
calon dokter, dia tak terasa dekat dengan cita-citanya, malah jauh. Tiap kali
suami dan anaknya membahas pekerjaan mereka, dia disisihkan. Lulusan SMA tau apa, pikir mereka.
Ketika dia ingin mempersiapkan makanan yang sehat untuk menyambut keluarga
suaminya, dia malah dipermalukan karena menyajikan makanan hambar. Keluarganya
tak pernah bicara padanya karena merasa tak nyambung. Bahkan dia pernah
mengomeli Bambang karena tak pernah mengeong padanya, kecuali saat membawakan
ponsel, tapi kucing itu sangat cerewet pada benda mati sekalipun.
Apa
seseorang bisa kecanduan ponsel karena alasan-alasan seperti itu? Ibu melalui
telepon bilang bahwa seseorang bisa saja kehilangan kewarasan karena kesepian.
Perasaan bersalah seketika memojokku yang selalu menghindar saat Murni mencoba
mengajak berbicara melalui siaran langsung, video, ataupun membahas topik
tertentu di internet. Setelah kuingat-ingat, ribuan pengikutnya itu tak pernah
muncul sekalipun. Apakah Murni sepanjang hari hanya menghadap ponsel karena tak
ada seorang pun yang ingin menghadapnya?
Tugas
dan ujian sekolah harus dikhianati oleh pikiranku yang lebih memilih mencari
jawaban tentang Murni. Sehingga tak bisa kuabai saat tangis diam-diamnya
terdengar lagi di dini hari setelah beberapa jam lalu dia gagal membujuk anak
bungsunya yang hanya menginginkan kehadiran sang ayah untuk menerima
penghargaan olimpiade. Akan lama jika harus memasak air dan menyeduh teh
hangat, jadi Murni hanya kudatangi dengan bahu kosong yang siap menangkap wajah
bengkak dan air matanya.
Sepanjang
malam tenang dan berdebu itu, Murni bercerita sembari berbisik dan menahan
sesenggukan. Agak sulit untuk menangkap ratusan kata darinya setelah kejamnya
nyamuk dan debu memberi rasa gatal dan tidak nyaman luar biasa. Namun, dari
situ pula kusimpulkan bahwa perasaan Murni tidak dibuat-buat. Dia tak terganggu
bahkan setelah beberapa nyamuk terlentang kekeyangan mengisap darahnya. Kurang
lebih, aku mengerti mengapa sebelum tinggal di kota Ibu menitip pesan untuk
menjaga Murni, bukan sebaliknya.
Murni,
pada pengakuannya, merasa tak dihargai oleh siapapun. “Jika sulit untuk
mencintaiku, setidaknya bisakah mereka sedikit saja menganggapku ada?” Itu
kalimat terakhir yang menyimpulkan seluruh perasaannya selama ini, sekaligus
menjadi penutup pertemuan kami karena air matanya tak bisa mengalir lagi dan
tenggorokannya juga sudah kering.
Cara
pandangku ke Murni berubah drastis setelahnya. Aku lebih bisa menerima
kebiasaannya yang memotret makanan sebelum makan atau melakukan siaran langsung
saat kami sedang nonton film horor bersama. Namun, tak berlangsung lama hingga aku
kembali berubah pikiran saat anak bungsunya demam tinggi dan kejang-kejang
sementara yang ada di rumah hanya dua wanita yang tak punya pengalaman mengurus
orang sakit. Panik, kami membawanya ke rumah sakit dengan mobil yang
dikemudikan olehku. Hampir saja kubanting setir dan melempar Murni keluar saat
wanita yang masih sempat berganti pakaian formal itu mengeluarkan ponsel dan
merekam anaknya yang kejang sembari berdoa, “Tuhan, tolong selamatkan anakku.”
***
Makassar, 27 Januari 2022
Komentar
Posting Komentar