Cerpen: Telanjang
TELANJANG
Telah terbit di kotomono.co
https://kotomono.co/cerpen-telanjang/
Lelaki
itu berjalan ke hadapan seorang perempuan tanpa sehelai kain menghalangi udara
meniup kulitnya yang dingin. Perempuan itu berdegup kencang, bukan karena
lelaki bugil mendekat ke arahnya, tetapi lantaran wajah lelaki itu adalah wajah
yang telah lama pergi dari kesehariannya. Saat sedikit lagi jarak menyingkir
dari mereka berdua, lelaki itu menghilang dengan raut wajah yang sayu dan Risna
terbangun dari tidurnya. Dia terdiam sebentar sebelum otaknya kembali bekerja
dalam realita bahwa pertemuannya dengan lelaki bugil itu hanya sebuah mimpi,
mimpi sama yang terus terulang sejak beberapa bulan belakangan.
Usia
Risna belum mencapai kepala empat, tetapi sudah menjanda selama hampir setengah
tahun. Keluarga dan orang terdekat terus menghibur dengan mendukungnya menikah
kembali setelah suaminya meninggal, tapi dia dengan tegas mengatakan bahwa dia
tak tertarik dengan pernikahan lagi setelah kehilangan yang dalam. Namun,
belakangan, dia sering meragukan dirinya. Padahal dia sangat yakin bahwa dia
adalah perempuan baik-baik yang menjaga diri dan pandangan sejak kecil. Genap
berkepala dua, dia menikah dengan lelaki saleh dan penyayang yang memenangkan
seluruh hatinya hingga tak ada lelaki lain pun sempat singgah. Tetapi baru
beberapa bulan berpisah, dia sering memimpikan lelaki yang berjalan ke arahnya
dalam keadaan telanjang. Meski lelaki itu adalah suaminya sendiri, tetap saja
membuat Risna bertanya-tanya tentang seberapa jalang dirinya, seberapa
menggejolak api dalam tubuhnya hingga memimpikan suaminya yang telah meninggal
dalam keadaan sensual. Karena itu, dia selalu ragu menceritakan mimpi itu ke
orang lain. Dia khawatir orang-orang akan menandainya sebagai perempuan berahi
dan menyuruh menikah lagi sebelum zina terjadi.
Tetapi
Risna masih menyangsikan. Tiap kali dia terbangun dari mimpi itu, dia lebih
banyak diliputi perasaan sedih alih-alih bergejolak. Lantas, dia beranjak
membuka lemari yang menyambut dengan aroma khas suaminya. Satu per satu mulai
dari kaos hingga kemeja yang tergantung rapi di tiang lemari, diambil dan
ditatap lama sembari mengingat kembali bagaimana pemilik pakaian itu
memakainya. Hingga dia mencapai pakaian paling putih mencolok dan bersih, gamis
yang dipakai pada lebaran terakhir suaminya. Gamis itu masih terlihat sangat
baru. Suaminya hanya memakai beberapa jam untuk Salat Idul Fitri sebelum dia
buru-buru ganti baju karena kondisi kesehatan menurun drastis. Pakaian itu
bahkan belum sempat dicuci lantaran setelahnya mereka sibuk mengupayakan
pengobatan sana-sini. Karenanya, dia sangat menyukai pakaian itu. Dipeluk dan
dihirup dalam aroma suaminya yang tertinggal pada pakaian itu; terdiri dari
keringat dan wangi parfum lavender. Risna menangis sebentar setelah memahami
diri bahwa dia tak ingin lelaki manapun telanjang dalam mimpinya selain
suaminya sendiri. Dia tak ingin melihat seinci kulit manusia lain selain kulit
lelaki yang pernah menggetarkan hatinya dengan cara sederhana seperti
menyediakan teh saat hujan, memeluknya saat lelah, dan memuji kerja kerasnya
walau gagal.
Sangat
dalam Risna mencintai sang suami meski sudah lama membiarkannya sendiri
sehingga saat mertuanya datang ke rumah, dia sangat senang. Menerima roti
buatan tangan dari ibu mertuanya dan membiarkan sepasang suami istri yang renta
itu duduk di sofa depan televisi, membuat Risna ingin berteriak memanggil
suaminya yang biasanya sedang mengurus tanaman di belakang rumah sembari
bercerita bahwa ibu mertua membuatkan roti cokelat kesukaannya. Tetapi dengan
cepat dia tersadar, tak ada siapapun di halaman belakang rumah. Sekarang,
penghuni rumah mungil itu hanya ada dia seorang.
Setelah
berbincang ringan tentang aktivitas terbaru mereka, ibu mertua Risna
mendekatinya, merangkul, membelai kepala dengan lembut, dan berhati-hati
berkata, “Aku melihatnya telanjang. Di mimpiku.”
Risna
membelalak, tak hanya terkejut karena untuk pertama kalinya perempuan rambut
putih itu mau membahas tentang putranya sejak takziah terakhir, tapi juga
terkejut karena dia memimpikan putranya telanjang. Namun, otaknya masih belum
mampu memahami keadaan. Dia masih sangat emosional dan mudah hancur saat
suaminya dibahas sehingga ibu mertuanya pelan-pelan menuntun.
“Nak,
aku tahu kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu memberikan uang sedekah
pengganti pakaian dan barang-barang Wahyu karena masih ingin terhubung
dengannya. Tapi, bukankah ini sudah waktunya membiarkan dia pergi dengan
pakaian yang layak?”
Bagai
istana pasir yang diserang ombak keras, Risna meleleh dan disapu ke laut, tepat
pada bahu perempuan di sampingnya yang mulai basah akibat ditumpahi air matanya
sendiri. Perempuan pemilik tangan kokoh tapi lembut itu mendekapnya erat dan
bercerita tentang betapa sulit hidupnya sejak putra sulung pergi lebih dahulu
dari dirinya. Dia membagi banyak cerita dan nasihat untuk mendorong, memberikan
kekuatan ke menantunya, agar bisa melepaskan dengan baik. Hingga air mata Risna
habis dan dia bangkit dengan mata yang bengkak, bergerak mengemas pakaian dan
barang suaminya.
“Wahyu
akan terus hidup bersama kita melalui kebaikannya dan kebaikanmu merelakan
barang-barang ini.” Ayah mertua Risna mencoba menghibur saat melihat tangan
menantunya bergetar agak ragu harus memberikan barang-barang yang sudah
dikemas. Kalimat yang hangat itu mendorong Risna untuk lebih yakin dan berani.
Dia lantas berlari kembali ke kamar dan keluar membawa satu gamis putih yang
tadinya ingin ditinggalkan untuk dirinya. Sembari menguatkan diri, dia
menandakan perpisahan kepada seluruh barang yang menghubungkannya dengan lelaki
yang dicintai.
Entah
itu hal yang baik atau tidak, sejak memberikan semua barang suaminya, Risna tak
pernah memimpikan lelaki itu dalam keadaan telanjang lagi. Dia bahkan tak
pernah memimpikan suaminya sama sekali, meski dia sangat merindukannya.
Sesekali, dia melihat keponakan atau teman memakai pakaian dan barang suaminya,
tetapi aroma lavender tak melekat pada mereka.
-.-
Komentar
Posting Komentar