CINDERELLA COMPLEX DAN KECENDERUNGAN CERITA FIKTIF ROMANSA
CINDERELLA
COMPLEX DAN KECENDERUNGAN CERITA FIKTIF ROMANSA
Thania Novita
Cinderella
adalah dongeng populer yang terbit tahun 1809, berkembang dan terus hidup
hingga sekarang. Dongeng ini tak berhenti sebagai cerita anak semata, tetapi
juga dianimasikan, difilmkan, dan menjadi inspirasi cerita romansa.
Sederhananya, dongeng ini bercerita tentang seorang gadis baik hati,
Cinderella, yang hidup sulit lantaran ketegaan ibu dan saudara tirinya. Dia
mendapat kesempatan untuk pergi ke pesta dansa dan bertemu pangeran yang
terpikat padanya. Melalui sebelah sepatu kaca, pangeran menemui dan meminangnya.
Di akhir cerita, Cinderella dan pangeran hidup bahagia. Cerita klasik yang
menunjukkan orang baik selalu berakhir bahagia. Meski begitu, Cinderella, gadis
malang yang rajin ini, mendapat banyak kritik. Colette Dowling menguraikan kompleksitas
dongeng ini melalui buku yang diterbitkan tahun 1981 berjudul, The
Cinderella Complex: Women's Hidden Fear of Independence. Dowling berpendapat
bahwa Cinderella menunjukkan ketergantungan atau rendahnya kemandirian. Hal ini
terlihat dari karakter Cinderella yang baik, pekerja keras, bahkan dicintai
oleh binatang hingga peri, tetapi tak mampu menyelamatkan diri sendiri dari
ketegaan keluarga tirinya. Perlu faktor eksternal, dalam hal ini pangeran,
untuk mengeluarkan Cinderella dari kesengsaraan dan membahagiakannya.
Fenomena cinderella complex
merujuk pada kecenderungan perempuan untuk bergantung secara psikis.
Kebergantungan ini mengacu pada keinginan yang kuat untuk dirawat, dilindungi,
dan ditolong oleh orang lain, utamanya laki-laki. Ada beberapa
sebab keadaan ini timbul, salah satunya pengaruh gender dalam masyarakat.
Laki-laki dididik menjadi kuat dan mampu mengatasi masalahnya sendiri,
sementara perempuan adalah makhluk lemah lembut yang perlu dibantu, rapuh
hingga perlu dirawat, perempuan diberikan kenyamanan yang membuat mereka tumbuh
‘lembek’. Kenyamanan dan pertolongan yang terus diberikan sejak kecil
menimbulkan perasaan aman jika perempuan bersama dengan sosok yang lebih kuat. Perasaan
inilah yang membuat rasa ketergantung perempuan lebih besar dibanding laki-laki.
Sadar
atau tidak, cinderella complex sering
berpapasan dengan kita melalui pengalaman seseorang yang dibaca dari internet,
curhatan teman, novel favorit, bahkan film dan drama yang populer di lingkungan
sekitar. Misalnya, pada drama korea populer tahun 2017, Guardian : The Lonely of Great God atau akrab dengan sapaan Goblin. Dalam tulisan ilmiah, Representasi Sindrom ‘Cinderella Complex’ Pada
Karakter Wanita Dalam Drama Korea (Analisis semiotik pada karakter Ji Eun Tak
dalam Drama Serial Guardian: the Lonely and Great God) (Utami H., 2018), menganalisis karakter utama perempuan di
drama ini, Ji Eun Tak, menunjukkan karakter yang mengacu pada cinderella complex. Hal ini tak terlepas
dari budaya patriarki Korea Selatan yang masih kuat. Tidak hanya itu, film
barat yang pernah menyatukan penggemar fantasi-romansa internasional seperti The Twilight Saga juga memiliki masalah
pada karakter utama perempuannya, Bella Swan. Bella menunjukkan perilaku
ketergantungan pada kekasihnya yang memiliki kekuatan supranatural (Puspitasari
R., 2019). Tentu saja cinderella complex
ini bukan sekadar isu luar negeri. Di Indonesia, sinetron yang meraih rating
tinggi selama pandemi, Ikatan Cinta, juga menunjukkan fenomena cinderella complex yang dialami oleh
Andin. Umumnya, cinderella complex memiliki
pola cerita serupa, seperti: menggambarkan penderitaan perempuan sebagai
pengantar, lalu lelaki “berkuda putih” datang menyelamatkannya, mereka terlibat
dalam keyakinan akan hubungan cinta sejati, dan ditutup dengan akhir yang
bahagia (Masruroh S., 2021). Model cerita seperti ini sangat populer dalam
genre romansa. Pada cerita novel juga sering didapati karakter utama lelaki
yang digambarkan hampir sempurna dan berstatus sebagai ‘pangeran masa kini’. Di
lingkungan liberal, ‘pangeran dunia dongeng’ sudah terlalu jauh menjangkau
realita. Gadis-gadis lebih mudah meleleh melihat orang-orang berkedudukan
tinggi secara ekonomi sehingga banyak cerita yang memiliki tokoh utama pria
seorang CEO.
Film,
drama, dan cerita yang merujuk pada cinderella
complex bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Cerita adalah cerminan dari
masyarakat, entah itu cerminan fenomena maupun keinginan masyarakat. Banyaknya
cerita yang semakin menguatkan isu cinderella
complex secara tidak langsung akan mempengaruhi perspektif masyarakat atau
boleh jadi jenis cerita ini malah dibuat untuk memuaskan hasrat penonton dan
pembaca.
Perlu
digarisbawahi bahwa Cinderella complex
bukanlah hal sesederhana bertemu pasangan sempurna saja. Dampak dari
ketergantungan dapat membuat perempuan cenderung menghindari masalah dan
tantangan sehingga mereka kurang asertif, inisiatif, dan kreatif. Selalu ada
ketakutan untuk mandiri dan berkembang serta perasaan kuat untuk dicintai. Hal
ini mengakibatkan perempuan berada dalam keadaan tak berdaya dan rentan
mendapat kekerasan dalam hubungan. Dalam suatu karya ilmiah berjudul Hubungan Cinderella Complex
dengan Sikap terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga, Suryaningrum
(2006) menuliskan bahwa kasus KDRT
mengalami kendala pemberantasan lantaran korban (perempuan) sering kali memilih
bertahan dalam rumah tangga. Bertahan menerima kekerasan dianggap oleh korban
sebagai upaya menghadapi KDRT tersebut dengan harapan suami mereka akan berubah
suatu hari nanti. Dalam hal ini, korban berupaya mencapai kebahagiaannya
melalui faktor eksternal, orang lain (suami yang juga pelaku kesengsaraannya).
Di sisi lain, cinderella complex juga
melahirkan ekspektasi besar pada pasangan untuk membahagiakannya dan jika tak
tercapai, kekecewaan yang berujung pada ketidakharmonisan dan perselingkuhan
bisa saja terjadi.
Poin dari cinderella complex ini bukan untuk mengampanyekan larangan penyiaran atau tontonan drama korea, sinetron, ataupun cerita romansa lainnya−meskipun sudah tanggung jawab pribadi untuk memilah hal yang baik dan buruk untuk diri sendiri−tetapi lebih pada pengingat, bukan hanya untuk perempuan, untuk semua orang keseluruhan bahwa masing-masing dari kita bertanggung jawab atas kebahagiaan dan hidup kita sendiri. Kemandirian adalah kekuatan untuk memegang tanggung jawab tersebut.
REFERENSI:
Utami, H.
H. (2018). Representasi Sindrom ‘Cinderella Complex’ Pada Karakter
Wanita Dalam Drama Korea (Analisis semiotik pada karakter Ji Eun Tak dalam
Drama Serial Guardian: the Lonely and Great God) (Doctoral
dissertation, Universitas Brawijaya).
PUSPITASARI,
R. (2019). A CINDERELLA COMPLEX ISSUE IN FEMALE PROTAGONISTS OF
BRONTE’S JANE EYRE AND MEYER’S TWILIGHT: A PSYCHOANALYTIC STUDY (Doctoral
dissertation, UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA).
Suryaningrum,
D. (2006). Hubungan Cinderella Complex dengan Sikap terhadap Tindak Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
Zain, T. S.
(2016). Cinderella complex dalam perspektif psikologi perkembangan sosial
emosi. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(1),
92-98.
Masruroh,
S. A. (2021). ADEGAN CINDERELLA COMPLEX DALAM SINETRON IKATAN CINTA SEBAGAI
DAYA PIKAT PENONTON. SAINSTEKNOPAK, 5(1).
Telah terbit di buku antologi esai "Cinderella Complex dan Masyarakat Antroposentris". Penerbit Sabda Mallomo, Makassar.
Komentar
Posting Komentar