Formulir C3 dan Independensi Pemilu

 Formulir C3 dan Independensi Pemilu

Peningkatan aksesibilitas pemilu bagi penyandang disabilitas bukan sekadar penyediaan pendamping dan akses fasilitas yang baik, melainkan pemberian kemandirian sebagai individu yang memiliki hak.


Dapat diakses melalui https://www.kompas.id/baca/opini/2023/10/11/formulir-c3-dan-independensi-pemilu


Menjelang Pemilu 2024, calon anggota legislatif mulai gencar menyambung tali silaturahmi dan aktif di grup Whatsapp. Netizen mulai membicarakan seputar tokoh ini dan tokoh itu mengingat ada banyak tokoh yang harus dipilih nanti. Instansi yang bertanggung jawab atas pemilu mulai melakukan sosialisasi ataupun perancangan sistem pemilihan yang lebih baik. Salah satu sistem yang perlu diperbaiki adalah sistem pemilihan yang ramah disabilitas.

Jumlah disabilitas di seluruh dunia mencapai 15 persen dari total populasi. Disabilitas menjadi kelompok minoritas yang besar. Di Indonesia pada 2020, menurut Kementerian Sosial, jumlah penyandang disabilitas mencapai 5 persen dari jumlah penduduk atau lebih kurang 22,5 juta jiwa. Ini jumlah yang cukup untuk mendorong urgensi inklusivitas, terutama pada pemilu nanti.

Kesadaran politik atau kelemahan politik?

Stigma atas ketidakmampuan disabilitas masih berkembang di masyarakat. Sebagian orang mungkin belum jelas tentang alasan pemaksimalan jumlah partisipasi 5 persen penduduk Indonesia tersebut. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatur hak berpolitik penyandang disabilitas. Adanya kesamaan hak dan kesempatan untuk ikut berpartisipasi politik dalam pemilu. Selain itu, peningkatan partisipasi pemilu mencerminkan demokrasi yang berkualitas. Terciptanya demokrasi yang berkualitas dapat mendorong terwujudnya lingkungan yang inklusif.

Meski begitu, timbul pertanyaan apakah disabilitas memiliki kesadaran politik yang cukup dalam pemilu atau tidak. Pesimisme lain yang muncul adalah bagaimana jika disabilitas hanya dijadikan alat dalam kepentingan politik orang atau kelompok tertentu? Ini karena anggapan ”ketidakmampuan” masih tersisa di kepala masyarakat, yang pada akhirnya menutup akses disabilitas untuk lebih berkembang.

Menurut Ishak Halim, pemerhati disabilitas, dalam bukunya yang berjudul Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Disabilitas dalam Pemilu Indonesia (2015), kekuatan dan kelemahan dalam politik disabilitas tergantung dari kecakapan disabilitas dalam mengambil keputusan dan menentukan pilihan politiknya. Kecakapan ini didukung oleh adanya informasi yang valid dan kepandaian dalam menganalisis.

Dengan kata lain, keputusan dalam memilih ini berdasarkan pada kemandirian berpikir. Politik disabilitas bisa saja menjadi kelemahan jika hanya mengikuti arus keberpihakan atau kepentingan pribadi, seperti materi.

Namun, penulis tidak melihat adanya perbedaan dalam sistem pemilu yang selama ini dilakukan oleh nondisabilitas. Bukankah cerita serangan fajar adalah fakta yang disimpan di dompet setiap masyarakat yang tak paham atau peduli pada esensi demokrasi? Untuk menentukan tingkat efektivitas dari pemaksimalan partisipasi disabilitas ini, dibutuhkan kepercayaan dan dukungan agar disabilitas dapat mengakses lebih banyak ruang politik yang membantu dalam mengambil keputusan ma

Independensi pemilu

Untuk menjamin tercapainya pemaksimalan pemilu, khususnya bagi disabilitas, instansi terkait, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), memastikan adanya aksesibilitas yang cukup dalam menjalankan pemilu. Mulai dari terciptanya lingkungan tempat pemungutan suara (TPS) yang aksesibel, dapat dijangkau oleh setiap orang yang memiliki kebutuhan berbeda-beda, hingga disediakan formulir C3 (form C3).

Meskipun aksesibilitas pemilu terus diupayakan meningkat, fokus pemerintah dalam membuka ruang untuk disabilitas barulah sampai pada disabilitas mampu mengakses pemilu. Yang penting bisa diakses dahulu. Namun, masih jauh dari poin mandiri dalam mengakses pemilu. Masih ada sisa keraguan di kepala masyarakat bahwa disabilitas bisa melakukan semua sendiri seandainya lingkungan disesuaikan dengan kebutuhannya. Untuk itu, disabilitas harus dibantu agar bisa mengakses pemilu. Inilah yang menjadi poin penting dari keberadaan Form C3.

Meskipun aksesibilitas pemilu terus diupayakan meningkat, fokus pemerintah dalam membuka ruang untuk disabilitas barulah sampai pada disabilitas mampu mengakses pemilu.

Untuk menjaga asas kerahasiaan dalam pemilu, disediakan form C3 sebagai bentuk perjanjian agar pendamping atau orang yang membantu mendampingi disabilitas (khususnya disabilitas netra) dalam proses pemilihan bersedia menjaga kerahasiaan pemilih. Ketentuan ini sebagai bentuk aksesibilitas yang diupayakan pemerintah agar disabilitas, khususnya netra, dapat berpartisipasi dalam pemilu.

Namun, penulis teringat protes disabilitas netra di depan sosialisasi pemilu yang diselenggarakan oleh Bawaslu yang mengatakan bahwa ”bahkan ibu saya yang membantu memilihkan pilihan saya pun tak saya percayai”. Poin pikiran ini tidak mengacu pada perumpamaan cerita Malin Kundang di era pemilu sekarang. Kalimat sarkas yang disampaikan berkesimpulan bahwa yang diinginkan disabilitas dalam pemilu adalah kemandirian, bukan bantuan.

Bagi disabilitas netra, independensi pemilu dapat dicapai melalui pemaksimalan ketersediaan Braille template atau alat bantu yang digunakan disabilitas netra dalam memilih. Menurut peraturan KPU, Braille template ini termasuk dalam dukungan perlengkapan lain yang digunakan untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, kelancaran, dan kemudahan pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara serta rekapitulasi perhitungan perolehan suara.

Namun, pada implementasinya, Braille template belum dimaksimalkan karena adanya anggapan kerumitan dan anggaran yang lebih dalam pengurusannya. Bisa jadi kerumitan ini karena penyelenggara bukan orang yang familiar dengan Braille sehingga perlu kolaborasi dengan teman-teman disabilitas netra. Sayangnya, banyak penyelenggara yang tidak sampai pada solusi tersebut.

Selain itu, permasalahan yang masih terjadi dalam pemilu sebelum-sebelumnya adalah pengoptimalan TPS hanya dilakukan jika terdapat data disabilitas di TPS tersebut. Sementara sering kali ada perbedaan data TPS dan lapangan sehingga yang terjadi adalah ketidaksiapan TPS menyediakan akses disabilitas. Ini juga yang memengaruhi tidak semua TPS menyediakan Braille template. Dibandingkan Braille template, KPU cenderung mengarahkan pada ketersediaan pendamping.

Menanggapi permasalahan ini, terdapat harapan agar pemilu yang akan datang mengalami peningkatan yang lebih solutif bagi disabilitas. Peningkatan ini bukan sekadar penyediaan pendamping dan akses fasilitas yang baik, melainkan memberikan kemandirian sebagai individu yang memiliki hak. Bukankah asas dari pemilu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil?

Sebelum mengakhiri, penulis teringat ucapan Dr Antoni Tsaputra, dosen Universitas Negeri Padang yang juga penyandang disabilitas, dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 21 September 2023, yang mengatakan bahwa ”hambatan yang dimiliki oleh disabilitas bukan karena kedisabilitasannya, tetapi karena lingkungannya”.

Komentar

Postingan Populer